Euthanasia Dalam
Pandangan
Islam
Euthanasia
merupakan istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam
bahasa arab adalah qatl arrahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir
al-maut (memudahkan kematian). Euthanasia sendiri sering diartikan sebagai
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif. Aturan hukum mengenai
masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan
perubahan norma-norma budaya maupun
ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa
negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena
sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa
memandang status hukumnya.
- Euthanasia Positif
Sedangkan yang dimaksud ‘taisir al-maut
al-fa'al’ (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena
kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). contohnya:
v Seseorang
menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita
sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
v Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya
karena
bagian otaknya terserang penyakit atau bagian
kepalanya mengalami
benturan yang sangat keras. Dalam keadaandemikian ia hanya mungkin dapat hidup
dengan
mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter
berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat
disembuhkan. Alat
pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paruparunya
dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis.
Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita
tidak
mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka
satu-satunya cara yang
mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit
itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan
untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang
menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai
"orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan
alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk
memudahkan kematian.
Memudahkan
proses kematian secara aktif (eutanasia positif) tidak diperkenankan oleh
syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat
secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik
dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras,
dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.
Semua
itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya.
- Euthanasia Negartif
Hal
ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut almunfa'il) Pada
eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya :
v Penderita
kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan
benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang
tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru
yang jika tidak diobati padahal masih ada kemungkinan untuk diobati akan dapat
mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan
dapat mempercepat kematiannya.
v Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub
al-Asyram (kelumpuhan
tulang belakang) atau syalal almukhkhi(kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian
ia dapat saja dibiarkan
tanpa diberi pengobatan apabila terserang penyakit
paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin
akan dapat membawa
kematian anak tersebut. At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah
kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan
kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan
kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus besar.
Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam
kondisi
lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya.
v Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak)
ialah
suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak
dilahirkan yang
menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan
badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yan menderita
penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta
selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam contoh tersebut, "penghentian
pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut
gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit
seperti itu tidak
berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif)
itu
mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit
atau kedua orang tuanya.
Adapun
memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana
dikemukakan, maka semua itu berkisar
pada "menghentikan pengobatan" atau tidak memberikan pengobatan. Hal
ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara
masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau
berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum
mubah.
Dalam
hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab
(sunnah). Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit
epilepsi meminta do’a Rasulullah untuk mendapat kesabaran.
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan
sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara
mereka ada yang memilih sakit. Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan
yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan
untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala. Inilah yang sesuai dengan
petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab
atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika
sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya yaitu para dokter-- maka tidak
ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila
penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan dengan cara meminum obat,
suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan
buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya
tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib
dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya)
itulah yang wajib atau mustahab. Maka memudahkan proses kematian (taisir
al-maut) , kalau boleh diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli
dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam
kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz
dan dibenarkan syara' , bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan
melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya
TUGAS
AGAMA ISLAM
EUTHANASIA
DALAM PANDANGAN ISLAM
NAMA : IDA
MAHFIROH
NIM : 25010112120057
KELAS : A
FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2012
1 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
Posting Komentar