AMANAT DARI BAPAK
Kicau
burung merpati seolah bersorak menyambut hangat
Sang Surya yang nampak malu – malu. Embun pagi membasahi daun – daun nan asri. Gemericik air
sungai bagai harmoni nan syahdu.
Angin yang berhembus menari – nari bersama padi yang menguning. Ku amati tiap
sudut desaku yang masih nampak lengang.
Ku
hela nafas sejenak. Ku pandang tiap sudut gubuk tuaku yang penuh kenangan
bersama Bapak. Ku sandarkan tubuhku pada kursi reot kesayangan Bapak. Ku
pejamkan mata dan mencoba menahan linangan air mata yang tak terbendung lagi.
Semua kenangan bersama Bapak masih nampak jelas di benakku.
Dari
jalan yang masih remang – remang, ku lihat dari jauh nampak seorang wanita
paruh baya memakai mukena putih berjalan ke arahku dengan sedikit tertatih. Ku
cium tangan Ibu dan ku sambut dengan peluk hangat.
“
Lho pagi – pagi kok sudah ngalamun, sudah sholat belum, Bayu ? ”
“
Ah tidak Bu, Alhamdulillah sudah sholat “
“
Ya sudah, ayo masuk di luar udaranya sangat dingin ”
Ku
berjalan mengikuti irama langah Ibu. Ku lihat adik – adikku sedang bermain –
main dengan mimpinya. Setiap melihat ketiga adikku, Ganang, Fitri dan Setyo,
aku selalu dihantui rasa bersalah karena tak bisa berbuat apa – apa untuk masa
depan mereka. Ketiga adikku terancam putus sekolah karena Bapak yang menjadi
tulang punggung keluarga sudah pergi menghadap Illahi tiga bulan yang lalu.
Kini Ibu yang paruh baya mencari sesuap nasi untuk kami dari bekerja sebagai
buruh tani yang hanya dibayar Rp. 10.000
tiap hari. Disisi lain, aku harus
mengubur dalam – dalam untuk melanjutkan perguruan tinggi di Jakarta setelah
lulus dari SMA. Kini aku sudah bertekad untuk menggantikan Bapak menjadi tulang
punggung keluarga. Akan tetapi, hingga saat ini aku belum juga mendapatkan pekerjaan apapun.
“
Ayo Ganang, Fitri, Setyo bangun sudah pagi nanti kalian terlambat sekolah “
“
Oke Bos, Mas Bayu nanti jadi ke sekolah
buat ketemu Bapak Kepala Sekolah kan?”
“
Iya, Mas kan sudah berjanji kan kalian sendiri yang bilang kalau janji harus
apa ? ”
“
Harus ditepati ! ” teriak ketiga adikku membuat Ibu tersenyum bahagia.
Setelah
berpamitan dengan Ibu, aku dan ketiga adikku pergi bersama menuju Sekolah Dasar
Negeri 03 Sido Mulyo yang jaraknya dua
kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi dan menyapa para
petani yang sedang sibuk menyiangi sawah mereka.
Setibanya
di sekolah, dengan rasa harap – harap cemas dan ragu, aku melangkah memasuki
ruang Kepala Sekolah. Mencoba menerka – nerka apa yang akan dibicarakan
kepadaku. Meskipun mendapat sambutan yang dingin, tapi aku mencoba untuk tetap
bersikap hangat.
“
Maaf, pasti Anda sudah tahu apa maksud dan tujuan saya mengundang Anda, bukan ? “, kata beliau dengan tatapan tajam
dan angkuh
“
Alhamdulillah saya sudah mengerti dan memahami maksud dan tujuan Bapak “
“
Baguslah, lalu bagaimana ? ”
“
Saya berjanji akan segera melunasi
tunggakan uang sekolah ketiga adik saya “
“
Baiklah, saya beri waktu satu minggu untuk
Anda “
“
Terima kasih atas kebaikan dan pengertian Bapak kepada keluarga kami “
“
Ya, kalau sudah tolong tutup pintu dari
luar “
Pembicaraan
yang singkat dan dingin tadi membuatku sedikit lega karena ketiga adikku masih
bisa melanjutkan sekolah mereka. Meskipun demikian, aku tak tak tahu apa yang
terjadi pada ketiga adikku jika minggu
depan aku belum mendapat pekerjaan.
Ku
hela nafas panjang. Ku gerakkan kepala dan berpaling dari langit. Ku pandang
jalan kerikil yang belum selesai ku tempuh.
Aku
menyeka keringatku yang mengalir deras di pelipis. Ku langkahkan kaki menuju
pohon waru yang tidak jauh dari pos ronda. Pohon itu besar dan mulai rapuh
namun dengan gagahnya siap untuk memberi perlindungan kepada siapa saja.
Aku
duduk dan bersandar pada kulit pohon
waru yang kasar dan rapuh. Ku atur nafas untuk menikmati hembusan angin yang
menenangkan hati dan pikiranku.
“
Ya Allah begitu banyak cobaan yang bertubi – tubi Kau berikan kepadaku, apa
kini Kau memang ingin melihatku berjuang untuk mendapat derajat yang lebih
tinggi ? Atau kini Kau sedang menunjukkan kekuasaan Mu dengan memberi cobaan
yang begitu berat kepadaku ? Atau Kau memang sudah tidak perduli lagi kepadaku ?
“
Ku
pejamkan mata sejenak. Bayangan kenangan saat – saat terakhir bersama Bapak
selalu muncul setiap aku memejamkan mata. Semua kenangan indah itu masih nampak
jelas dan nyata. Bahkan suara nafas Bapak masih sering aku rasakan.
“
Astaghfirullah aku sudah melupakan amanat Bapak , aku harus segera pulang “
Dengan
hati gelisah, aku berlari menyusuri pematang sawah yang becek. Tak perduli lagi
teguran para petani dan tingkungan tajam di setiap sudut desa yang rawan akan
kecelakaan. Yang ada di benakku sekarang adalah aku harus menemukan surat yang
dititipkan Bapak kepadaku ketika Bapak sedang sakit, sehari sebelum kematian
menjemputnya.
“
Assalamu’alaikum, Ibu dimana? ”, teriakku sambil berlari menuju kamar Ibu
“
Wa’alaikumsalam Ibu di dapur, kenapa kamu berteriak – teriak ? apa yang terjadi, Nak ? “
“
Ibu dimana surat dari Bapak yang dulu aku titipkan ke Ibu “
“
Surat apa ? Ibu tidak mengerti bicaralah
yang jelas, Nak ? ”
“
Surat beramplop coklat yang dititipkan sehari sebelum Bapak meninggal, untuk
disampaikan ke Pak Bejo “
“
Tapi, kamu mau apa dengan surat itu ? “
“
Aku sudah berjanji akan menyampaikan amanat Bapak, tapi aku baru ingat sekarang “
“
Tapi, kamu yakin akan menyampaikan surat itu ? Dengan segala resiko yang akan kamu tanggung ? “
“
Insya Allah Bayu sudah siap dan ikhlas,
Bu “
“
Baiklah tunggu sebentar, Ibu akan ambikan surat itu “
Ku
atur nafas untuk menata detak jantungku yang berpacu lebih cepat. Ku gerakkan
kakiku menuju bilik ruang tamu dan berharap Ibu cepat menemukan surat itu.
“
Ini Nak, tapi kamu yakin mau
menyampaikan amanat ini ? ”
“
Aku yakin karena Ibu tahukan amanat itu harus disampaikan, karena aku takut
Bapak tidak akan tenang jika aku belum menyampaikan surat ini “
“
Tapi kamu tidak tahu isi surat ini kan ? Bisa saja isinya sesuatu yang akan
merugikan atau bahkan bisa mencelakakan kamu “
“
Ibu hidup, mati, rezeki, jodoh semua sudah diatur oleh Allah, aku yakin isi
surat ini sangat penting dan berharga bagi Bapak, dan aku percaya Bapak tidak
akan mencelakakan anaknya sendiri “, kataku lirih sambil memegang tangan Ibu
yang penuh dengan kerutan.
“
Ibu mengerti, tapi kamu tidak tahu siapa Pak Bejo itu, kan? “
“
Iya, aku memang tidak pernah tahu Pak Bejo yang dimaksud Bapak, apakah Ibu
mengetahuinya ? “
“
Pak Bejo itu adalah sahabat karib
Bapakmu, tapi dia tiba – tiba berubah dan menjadi orang yang sering berbuat jahat kepada keluarga kita. Ia
sering memfitnah Bapakmu, bahkan Ia hampir membakar rumah kita karena Bapakmu
terpilih menjadi kepala desa. Tapi akhirnya Bapakmu memutuskan untuk pergi dari
desa seberang dan membangun kehidupan yang baru di desa yang damai ini “, kata
Ibu dengan suara parau
“
Tapi mengapa Bapak menginginkan aku untuk menyampaikan surat ini ? “
“
Ibu tidak mengerti apa maksud Bapakmu, tapi jika kamu masih sayang Ibu dan
ketiga adikmu, Ibu harap urungkan niatmu, Nak “, kata Ibu sambil meninggalkanku
di bilik ruang tamu.
Terdiamku
dalam lamunan. Semua yang ku dengar dari Ibu semakin menguatkan niatku untuk
bisa menemukan Pak Bejo dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara
mereka. Sebuah teka- teki penuh misteri yang harus ku ungkap. Apapun yang
terjadi aku harus segera menemukan Pak Bejo bahkan nyawa sekalipun akan aku
pertaruhkan, pikirku.
Ku
langkahkan kaki menuju kamar Ibu yang terletak di sebelah dapur. Kamar
berdinding bambu dan berukuran dua kali
dua meter ini nampak gelap dan lembab karena tidak ada satupun jendela dan lampu yang menghiasi
kamar Ibu.
Ku
lihat Ibu nampak murung dengan wajah pucat, dengan air mata yang masih
berlinang di pipinya yang sudang penuh dengan kerutan. Ibu menatapku dengan
tatapan kosong dan senyum yang berbeda dari sebelumnya. Ibu berusaha menutupi
wajahnya yang bersedih dengan kerudung biru yang sudah lusuh dan penuh dengan
tambal sulam kain perca.
“
Ibu kenapa menangis ? “, tanyaku sambil mengusap rambut Ibu yang penuh dengan uban
“
Ibu hanya sedih karena Bapakmu meninggalkan amanat yang tidak seharusnya
diberikan kepada kamu “
“ Aku yakin ini semua pasti sudah difikirkan
Bapak matang – matang, Ibu tidak usah khawatir, insya Allah aku bisa menjalankan amanat Bapak “
“
Tapi Ibu tidak rela kamu pergi ke rumah Pak Bejo, kamu tahu Ibu sangat membenci
dia, Ibu sudah berjanji tidak akan pernah memaafkan dia bahkan Ibu tidak sudi
berhubungan dengan orang yang namanya Bejo “, kata Ibu sembil menangis
“
Tapi tekadku sudah bulat, apapun yang terjadi aku akan menemui Pak Bejo, bahkan
aku sudah berjanji mempertaruhkan nyawaku sekalipun “
“
Apa ? Kamu rela membantah Ibu dan kamu justru mempertaruhkan nyawamu hanya untuk bertemu orang yang dulu
sering menyakiti Bapak dan Ibumu ? “,
kata Ibu dengan nada tinggi
“
Maaf Bu, bukan maksudku untuk membantah Ibu, tapi aku hanya ingin menyampaikan
amanat Bapak dan mencari tahu akar dari permasalahan keluarga kita dengan Pak
Bejo “, kataku dengan tegas
“
Untuk apa kamu mencari tahu masalah ini ? Bukankah Ibu sudah menjelaskan bahwa
Pak Bejo adalah orang yang sering melakukan kejahatan terhadap keluarga kita ?
Apa kamu sudah tidak mempercayai Ibu ? Apa kamu sudah lupa siapa yang telah
melahirkan dan membesarkanmu ? Mengapa kamu membentak Ibu hanya karena ingin
megetahui siapa Pak Bejo itu ? “, kata Ibu dengan suara lantang
“
Maafkan aku Bu, bukan maksudku berbuat seperti itu, harus berapa kali ku
katakan kepada Ibu bahwa aku hanya ingin menyampaikan amanat Bapak dan
menyelesaikan masalah keluarga kita dengan Pak Bejo sudah itu saja, tidak lebih
“, kataku sambil menggenggam tangan Ibu yang mulai dingin
“
Terserah apa mau mu, kalau kamu memang ingin melakukan ini terserah, Ibu sudah
tidak perduli lagi meskipun Ibu sudah memohon dan berlutut sekalipun pasti kamu
akan tetap melakukan hal ini karena kamu anak yang keras kepala, Ibu sudah
lelah, sekarang terserah apa maumu “, kata Ibu sambil melepas tanganku dan
mengalihkan pandangan dariku
“
Aku tahu ini pasti berat dan menyakiti Ibu, maaf jika aku telah membuka luka
lama di hati Ibu, tapi aku janji aku
akan menyelesaikan masalah keluarga kita secepatnya, aku mohon restui aku, Bu “, kataku dengan meneteskan air
mata
“
Tapi ingat jangan pernah menyesal atas keputusan yang telah kamu pilih “, kata
Ibu dengan nada tinggi
“
Iya Bu, itu pasti “, kataku dengan tegas sambil menutup pintu kamar Ibu
Ku
hela nafas panjang. Ku langkahkan kaki menuju kamarku. Kamar berukuran dua kali
dua meter dan berdinding bambu ini dipenuhi oleh dua rak buku yang mulai rapuh.
Tikar tambal sulam yang menjadi alas tidur kini mulai hancur dimakan rayap. Berbeda
dengan kamar Ibu, kamarku nampak terang dan tidak lembab karena terdapat dua
buah jendela dan bolam lima watt yang
menghiasi kamarku.
Ku
rebahkan tubuhku di atas tikar dan ku ambil amplop coklat berisi surat amanat Bapak. Tiba – tiba muncul
hasratku untuk membaca surat itu, surat yang penuh teka – teki dan membuat luka
di hati Ibuku membuka kembali. Namun ku urungkan niatku kembali, karena aku
tahu Bapak pasti tidak suka aku melanggar janjiku untuk tidak melihat isi surat
itu sebelum Pak Bejo membacanya.
“ Apa maksud Bapak menyuruhku untuk memberikan
surat ini kepada Pak Bejo ? Kenapa harus aku ? kenapa Ibu begitu jijik dan
tidak suka mendengar nama Pak Bejo ? Apa yang telah dilakukannya hingga Ibu
tidak bisa memaafkanya ? Padahal Ibu orang yang sangat pemaaf, Mengapa Pak Bejo
berlaku kejam kepada keluargaku ? Siapa yang benar dan siapa yang salah ? “
“
Ya, aku harus mengungkapkan masalah ini, aku harus menemukan Pak Bejo dan
membawanya ke hadapan Ibu dan menyuruhnya untuk meminta maaf kepada Ibu, Ya aku
pasti bisa menemukannya! Pasti bisa ! “
******
Sinar
Sang Fajar telah menyusup di sela – sela gubukku yang reot. Kicau burung
merpati dan kokok ayam yang saling beradu telah menyadarkanku dari indahnya
bunga tidur.
“
Ya aku siap untuk pengembaraanku kali ini , Pak Bejo bersiaplah untuk menyambut
kedatanganku “, kataku sambil mengambil
tas kecil yang berisi bekal dan surat amanat Bapak yang telah aku siapkan tadi
malam.
Ku
langkahkan kaki menuju dapur yang menjadi tempat favorit Ibu setiap pagi. Namun kali ini Ibu nampak absen dari
jadwalnya di dapur. Ku coba untuk mencarinya di kamar, namun tak ku dapatkan
lagi sosok Ibu di sana. “ Dimana Ibu, atau jangan – jagan ? Ah, tidak mungkin
Ibu melakukan ini “, kataku dalam hati. Ku berlari – lari kecil menuju bilik rumah. “
Ah, akhirnya ku dapatkan Ibu juga, syukurlah “, kataku lirih.
Ku
lihat Ibu sedang menjahit bajunya yang sudah sobek sambil menemani ketiga adikku yang sedang asyik bermain dengan
kucing kami, Selamet dan Siti. Disisi lain, Ibu dengan guratan wajah sedih dan
mata sembab yang tidak bisa dielakkan lagi Ibu pasti baru saja menangis,
mencoba tersenyum ketika adikku, Fitri berebut roti dengan Ganang. Dan tak bisa dipungkiri
penyebabnya adalah aku. Ya, aku yang telah membuat luka lama di hati Ibu
menjadi terbuka lagi.
“
Mas Bayu kenapa hanya berdiam diri di situ ? Ayo kesini bermain bersama kami “,
kata adikku, Fitri
“
Iya, Mas hanya tidak mau mengganggu kalian bermain, ayo lanjutkan bermainnya “
“
Loh Mas Bayu mau kemana ? Kok bawa tas ransel dan berpakaian rapi tidak seperti
biasanya ? “, Kata Ganang sambil menarik tanganku
“
Mas hanya ingin pergi sebentar saja, tidak lama kok “
“
Kita boleh ikut ? “
“
Ternyata kamu memang keras kepala dan sudah tidak percaya lagi kepada Ibu “,
kata Ibu dengan tatapan tajam
“
Maaf Ibu, tekadku sudah bulat dan aku yakin aku bisa menyelesaikan ini semua “,
kataku sambil berlutut di hadapan Ibu
“
kamu sudah tidak menganggap aku ini Ibumu, kamu egois, apa kamu tidak
memikirkan hal buruk yang bisa datang kepadamu tanpa kamu sadari nasibmu akan
seperti Bapakmu ? ”, kata Ibu sambil menangis
“
Ibu aku mohon restui aku, hargailah pengorbananku ini semua aku lakukakan untuk
Ibu, hanya untuk Ibu “,
“
Tidak, ini semua kamu lakukan hanya untuk memenuhi hasrat ingin tahumu yang
tinggi, kan ?”,
“
Iya Bu, tapi niatku tulus dan aku janji akan segera menyelesaikan ini semua “
“
Kamu tahu, Ibu sangat menyayangimu meskipun tindakanmu ini sangat membuat hati
Ibu sakit, tapi Ibu sudah memaafkanmu dan Ibu akan selalu berdo’a untuk keselamatanmu,
pergilah dan ungkapkan semua kebenaran yang telah terkubur selama dua puluh
tahun “, kata Ibu sambil memelukku
“
Terima kasih Ibu, aku janji akan segera pulang dan membawa kabar baik untuk
Ibu”, kataku sambil mencium kaki Ibu
“
Mas meskipun kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kami yakin tindakan
yang mas lakukan pasti demi kebaikan kami semua meskipun beresiko, kami hanya
bisa mendo’akan Mas “, kata Ganang sambil memelukku
“
Hati – hati Mas, do’a kita akan selalu menyertai di setiap langkah, Mas “, kata
Setyo dan Fitri yang menyusul memelukku
“
Mas janji akan segera pulang, jaga Ibu baik – baik ya, apapun yang terjadi
nantinya kalian harus tetap sekolah dan menjadi orang yang tinggi derajatnya
baik di mata Allah dan semua orang “, kataku sambil mencium pipi ketiga adikku
Tangis
haru, senyum manis dan do’a dari Ibu dan ketiga adikku mengiri kepergianku
untuk menemui Pak bejo. Langkahku semakin mantap dan ringan bak melayang di hamparan
langit yang luas tanpa beban, yang ada hanya keyakinan dan semangat yang
membara dalam jiwa. Berbekal alamat surat dan denah rumah Pak Bejo yang ku
dapat dari Bapak, aku memutuskan untuk pergi ke desa seberang menggunakan
sampan yang menjadi satu – satunya alat transportasi yang menghubungkan desaku
dan desa Pati Anom, desa tempat Pak Bejo dan keluarganya tinggal.
Meskipun
jarak antara Desa Mukti Mulyo dan Desa Pati Anom hanya berjarak dua kilometer,
namun aku harus mengantri untuk mendapat giliran menaiki sampan yang jumlahnya
hanya dua sedangkan penumpangnya mencapai lebih dari empat puluh. Sampan yang
digunakanpun sudah tidak layak, namun masyarakat lebih memilih untuk menaiki
sampan dari pada melewati jalur darat, selain karena jaraknya bertambah jauh
biaya yang dikeluarkan untuk sampai ke Desa Pati Anom bisa mencapai Rp. 50.000;
untuk satu kali perjalanan.
Ku
gerakkan kaki menuju sampan. Dengan hati yang mulai bimbang, aku mencoba
menepis semua kegelisahan yang tiba – tiba muncul di benakku. Sepanjang
perjalanan aku hanya terdiam dan melamun. Tak perduli lagi keadaan sekitar yang
penuh dengan orang – orang yang saling berdesakan, bau keringat dan bau ikan asin bercampur menjadi satu dan
membuat siapa saja menjadi mual. Namun, aku hanya memikirkan cara untuk
menemukan Pak Bejo yang tidak pernah aku temui sebelumnya.
Aku
mencoba mencari tahu sedikitnya informasi tentang Pak Bejo dari salah satu
penumpang yang berdiri tepat di sebelahku. Bapak yang kira – kira berusia empat
puluh tahun ini, memakai baju biru yang lusuh sambil membawa hasil panennya,
jagung. Dengan caping di atas kepala yang menutupi sebagian wajahnya Bapak itu
berusaha tersenyum kepadaku.
“
Maaf Pak, apa Bapak ini masyarakat dari Desa Pati Anom “
“
Iya benar, ada yang bisa saya bantu ? “, kata Bapak itu sambil melepas
capingnya
“
Apa Bapak kenal dengan Pak Bejo yang dulu pernah menjadi Kepala Desa ? “
“
Pak Bejo ? Ada hubungan apa kamu dengan dia ? “
“
Saya adalah anak dari sahabatnya Pak Bejo, almarhum Bapak saya meminta saya
untuk menemui Pak Bejo, apa Bapak tahu dimana Pak Bejo tinggal ? “
“
Bagaimana ya ? Tapi apa kamu benar – benar yakin ingin bertemu dengan orang
sejahat dan sekejam Bejo ? Apa kamu mau mengantarkan nyawamu ke kandang buaya ? “
“
Maaf maksud Bapak apa ini ? Saya tidak
mengerti apa yang sedang Bapak bicarakan “, kataku dengan nada heran
“
Pak Bejo itu adalah orang terkaya di Desa Pati Anom, tapi dia sangat kejam,
jahat, gila harta, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, orang
yang berani menantang pasti akan dia
bunuh, tapi itu dulu “
“
He? Maksud Bapak apa ini ? saya semakin tidak mengerti “
“
Maksudku dulu dia memang jahat, tapi karena anak perempuan kesayangannya
meninggal karena bunuh diri, sekarang Pak Bejo menjadi orang yang baik “, kata
Bapak itu sambil nyengir memperlihatkan giginya yang ompong
“
Oh, syukurlah kalau begitu , maaf apa Bapak bersedia untuk mengantarkan saya ke
rumah Pak Bejo ? “
“
Baiklah, kebetulan rumah saya dekat dengan rumah Pak Bejo “
“
Terima kasih banyak, Pak “, kataku sambil menjabat tangan Bapak itu
Perjalananku
kini terasa lebih mudah, tak pernah ku bayangkan jika cepat sekali aku akan
bertemu Pak Bejo. Sungguh ini adalah rahmat dari Allah, pikirku.
Setelah
melakukan perjalanan yang memakan waktu sekitar satu jam. Perjalanan yang sangat terasa lama dan melelahkan karena
harus berdesak – desakan dan berusaha menjaga keseimbangan sampan agar tidak
jatuh ke sungai.
Ku
hembuskan nafas. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah
kelahiranku, Bapak dan Ibuku. Desa yang
menyimpan sejuta teka – teki dan misteri kehidupan antara Bapak, Ibu dan Pak Bejo
akan segera ku ungkap.
Desa
yang penuh dengan jagung dan ketela pohon yang menghiasi tiap sudut desa ini
menambah keasrian Desa yang ramai ini. Desa Pati Anom terkenal akan gadis –
gadisnya yang cantik dan sangat menjunjung tradisi. Disisi lain, kehidupan masyrakatnya nampak lebih maju dan
menjamin jika dibandingkan dengan Desa Mukti Mulyo, tempat tinggalku.
“
Mas maaf saya tidak bisa mengantar sampai ke dalam rumahnya karena saya harus
segera menjual hasil panen saya “
“
Iya Pak, tidak apa – apa saya mengerti “
Setelah
menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di depan
rumah Pak Bejo. Rumah yang besar dan penuh dengan bunga melati menghiasi tiap
sudut rumahnya. Rumah yang tampak sepi dan lengang membuat halaman rumah Pak Bejo
penuh dengan ayam kampung milik para warga. Disisi lain, lantai dan dinding
rumah yang kotor dan mulai rapuh membuat rumah ini nampak angker dari kejauhan.
“
Assalamu’alaikum “, kataku sambil mengetuk rumah Pak Bejo
Ku
ulangi salam hingga lima kali namun tak ada jawaban juga. Aku sempat gelisah,
namun ku coba untuk tetap tenang dan sabar. Mungkin Pak Bejo tertidur atau sedang di dapur jadi mungkin dia tidak
mendengar salam yang sudah berulang kali ku ucapkan dengan suara melengking
yang ku punya, pikirku.
“
Wa’alaikum salam, maaf sebentar “, kata laki – laki paruh baya dengan suara
parau sambil membukakan pintu
“
Permisi apa benar ini rumahnya Pak Bejo “, kataku sambil menyalaminya
“
Benar, kamu siapa ? Mari masuk “
“
Saya Bayu dari Desa Mukti Mulyo “, kataku sambil mengikuti langkah Pak Bejo
menuju bilik ruang tamu
“Tapi,
saya tidak pernah mengenalmu bahkan melihatmu akupun tak pernah “, kata Pak
Bejo dengan wajah keheranan
“
Saya adalah Bayu, anak dari Pak Budi dan Bu Aminah “
“
Maaf bisa jelaskan kepada saya lebih jelas lagi, karena saya sudah tua jadi
sedikit pikun “, kata Pak Bejo sambil menggaruk kepalanya yang penuh dengan
uban
“
Pak Budi adalah sahabat Pak Bejo ketika beliau masih tinggal di desa ini kata
Ibu, dulu Anda dan Bapak saya telah bersahabat sejak lama namun tiba – tiba
...”
“
Namun tiba – tiba apa ? “, kata Pak Bejo sambil mengkerutkan kening
“
E..maaf saya tidak bisa melanjutkan ceritanya, intinya dulu Anda dan Bapak saya
sudah bersahabat sejak lama, sebelum Bapak meninggal beliau mengutus saya untuk
menyampaikan surat amanat kepada Pak Bejo “
“
Tunggu, jadi kamu anak Budi dan Aminah yang dulu sering aku fitnah ? sering aku
curangi ? Perlu kamu ketahui aku dulu sering berbuat jahat kepada Bapakmu, lalu
apa maumu sekarang ? Apa kamu diutus Bapakmu untuk membalaskan dendamnya ?
Picik sekali pikiran Bapakmu “
“
Maaf Anda sudah salah sangka kepada Bapak saya, Bapak saya adalah orang yang
paling baik, beliau justru mengutus saya untuk menyampaikan surat ini, bukan
untuk membalaskan dendamnya “, kataku sambil memberikan surat itu
“
Apa ini ? “
“
Saya tidak tahu itu apa, karena Bapak melarang saya untuk melihat isinya
sebelum Anda yang membacanya “
Ku
lihat Pak Bejo memulai membaca surat itu. Meskipun kini aku sudah lega, namun
aku menjadi cemas melihat Pak Bejo yang mengeluarkan keringat dingin dari
tubuhnya. Ku amati beliau yang membaca surat itu dengan penuh konsentrasi dan
berlinangan air mata. Sungguh aku menjadi semakin penasaran. Aku ingin sekali
mengetahui isi surat itu, tapi apa daya aku tak mampu untuk melakukannya.
Semakin lama, raut muka Pak Bejo menjadi berubah 180 derajat, beliau berlinangan
air mata dan emosinya semakin tidak terkontrol.
“
Maaf apa yang terjadi pada Anda ? Apa yang telah dikatakan Bapak kepada Anda ?
Apakah isinya telah menyakiti Anda ? “, kataku sambil menatap Pak Bejo
“
Tidak, tidak apa – apa “, kata Pak Bejo sambil meletakkan surat itu di atas
meja
“
Lalu ? Apa isinya “
“
Apa kamu sudah siap untuk mendengar sesuatu yang akan membuatmu terkejut bahkan
kecewa ? “
“
Ya, saya sudah siap mendengar ini semua apapun yang terjadi saya yakin ini
semua sudah diatur oleh Allah “, kataku dengan tegas
Seketika
suasana menjadi hening. Pak Bejo menjadi diam seribu bahasa. Beliau hanya
membolak – balikkan surat itu, sambil sesekali menatapku dengan tatapan yang
aneh. Disisi lain, aku menjadi semakin bingung dan tak tahu apa yang harus ku
katakan untuk memecahkan keheningan ini.
Tiba
– tiba Pak Bejo berlutut didapanku sambil menangis haru . Suatu pemandangn yang
aneh dan membingungkan. Akupun hanya bisa terdiam karena terkejut akan sikap
Pak Bejo saat itu.
“
Maafkan Bapak, Nak , maaf kan Bapakmu yang hina karena telah menelantarkanmu
”
“
Maksud Anda apa ? Katakan dengan jelas, aku tidak mengerti “, kataku sambil
mencoba membangunkan Pak Bejo yang hampir sujud di kakiku
“
Kamu adalah anakku, anak kandungku, benih yang telah aku tanamkan di rahim
Ibumu kini tlah berdiri di hadapanku “
“
Apa maksud Anda ? Ini semua bohongkan ? Anda pasti sedang bergurau kan ? “
“
Tidak, aku tidak sedang bergurau, ini benar dan ini nyata, Nak “, kata Pak Bejo
dengan nada tinggi
“
Tidak aku tidak percaya dengan Anda ! Bapakku hanyalah Pak Budi bukan Anda atau
siapapun, aku tidak kenal Anda ! Yang aku tahu Anda adalah orang yang telah
menyakiti hati Bapak dan Ibuku, dulu Anda sering membuat hidup mereka menjadi
buruk, kan ? “, kataku sambil melepas tangannya dan memalingkan muka
“
Iya, itu benar dulu aku sering berbuat kejahatan kepada mereka. Tapi kamu tahu,
aku melakukan ini semua karena aku sangat mencintai Ibumu, tapi Ibumu lebih
memilih Budi, dan cintaku kepada Ibumu yang telah membutakan mata hatiku,
maafkan aku, maaf “,
“
Anda harusnya meminta maaf kepada Bapak dan Ibuku bukan kepadaku, karena aku
bukan siapa – siapa Anda, bagiku Anda adalah orang asing yang dulu pernah
menjadi benalu dalam hidup keluargaku, itu saja tidak lebih “, kataku
sambil menitihkan air mata
“
Tapi aku adalah benar – benar Bapakmu, tolong percayalah kepadaku, lihatlah
mataku apa aku berbohong ? “, kata Pak Bejo sambil memegang wajahku
“
Sekalipun Anda memaksaku aku tidak akan pernah percaya, bagiku Bapakku adalah
Pak Budi yang kini telah menghadap Illahi, jika Anda tetap bersikeras maaf aku tidak perduli, tujuanku datang kemari
adalah untuk menyampaikan amanat Bapak tidak lebih “, kataku sambil
menyingkirkan tangan Pak Bejo dari wajahku
“
Nak percayalah Bapak adalah Bapakmu, harus berapa kali ku katakan, tapi apa
daya kamu benar aku hanya orang asing yang dulu menjadi benalu di kehidupan
kelurgamu, Budi telah menjadi Bapakmu selama dua puluh tahun, tak bisa
dipungkiri ini pasti sangat berat bagimu untuk mempercayai bahwa aku adalah
Bapak kandungmu, tapi percayalah ini benar karena kamu tahu Bapakmu telah
menyampaikan semuanya di surat itu, dan dia juga mengatakan bahwa aku harus merawat kamu, Ibumu dan ketiga
adikmu itu saja tidak lebih, dan perlu
kamu ketahui jika hubungan darah tidak dapat diputuskan oleh apapun dan
siapapun, aku ini tetap Bapakmu, Bapak kandungmu “, ujarnya.
******
TUGAS BAHASA INDONESIA
CERPEN
AMANAT
DARI BAPAK

Oleh :
Ida Mahfiroh / 12
Kelas
: XII IA 5
SMA NEGERI 2 SEMARANG
Tahun Ajaran 2011 / 2012
0 komentar:
Posting Komentar