RSS

Senin, 15 April 2013

LAPORAN PRAKTIKUM CACING


BAB I
Pendahuluan

A.    Tujuan Praktikum
A.1. Mengamati morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis, diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.
                A.2. Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dari masing-masing telur dan cacing yang diamati.


B.     Manfaat Praktikum
B.1. Praktikan dapat mengidentifikasi morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis, diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.
B.2. Praktikan dapat membedakan jenis – jenis telur dan cacing melalui identifikasi morfologi cacing.



BAB II
                                                Dasar Teori


1.      Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
a.      Pengertian
Strongyloidiasis stercoralis adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah lembab. Cacing masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang terkontaminasi cacing. Cacing kecil hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Cacing gelang muda dapat bergerak melalui kulit seseorang dan masuk ke dalam aliran darah ke paru-paru dan saluran udara. Ketika cacing bertambah tua, mereka mengubur diri dalam dinding usus. Kemudian, mereka menghasilkan telur dalam usus. Daerah di mana cacing masuk melalui kulit dapat menjadi merah dan menyakitkan. ( Srisasi, 2006 )

b.       Klasifikasi Ilmiah
Filum            : Nemathelminthes
Kelas            : Nematoda
Sub kelas      : Secernantea
Ordo             : Rhabditida
Super famili  :  Rhabditidae
Famili      : Strongyloididae
Genus     : Strongyloides
Spesies   : Strongyloides stercoralis 
(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c.       Morfologi
Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar. ( William, 2003 )  
Cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya filform, halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja ( William, 2003 ) 
Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran  2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi.. ( William, 2003 )

               
          Gambar 2.1. Cacing Strongylides stercoralis Dewasa Betin

d.      Siklus  Hidup
1.      Siklus langsung
Sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring reflek  batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi dewasa. ( William, 2003 )

2.      Siklus tidak langsung
Larva rabditiform berubah  menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menghasilkan larva filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes. ( William, 2003 )
3.      Auto infeksi 
Larva rabditiform menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila larva filariform  menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran perkembangan di dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang hidup di derah non endemik. ( William, 2003 )

e.       Distribusi Geografik
Distribusi geografik terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah yang beriklim dingin jarang ditemukan. Penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi cacing tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran  hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Guyton, 2006 )
f.       Gejala Klinis
Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria,  kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva menyebar dari arah dubur, dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh. Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah dapat menyebabkan terjadinya Strongyloidiasis diseminata, terjadi penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian. Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif.  Pada stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada Strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun. ( Guyton, 2006 )
g.      Cara-cara Penularan
Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform  ini dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform  yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun.(Guyton, 2006)
h.      Epidemiologi
Penyebaran infeksi strongyloidiasis seiring dengan infeksi cacing tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran  hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Diah, 2006 )

i.        Diagnosa
Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada daerah perianal yang diperiksa dengan metoda graham scoth. . Menemukan larva
dala
m tinja sputum dalam cairan aspirasi duodenum (Enterotest). Pemeriksaan serologi Elisa,menggunakan antigen larva. Pemeriksaan tinja dapat dilakukan setelah konsentrasi(formalin-ethylacetate)dengan biakan tinja cara isolasi Baerman , setelah kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper kultur di agar plates , metode Charcoal. ( Juni, 2006 )
j.        Terapi
Thiabendazole, Albendazole, Simptomatik untuk  diare, dehidrasi atau gangguan elektrolit. ( Diah, 2006 )
k.      Pencegahan
-
     Pengobatan penderita
-          Mengatur pembuangan tinja, pembuatan latrin
-          Pendidikan tentang higiene kesehatan
-          Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis 
( Mitchel, 2000 )
2.      Telur Clonorchis sinensis
a.      Pengertian
Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 di saluran empedu pada seorang Cina di Kalkuta. ( Juni, 2006 )
b.      Hospes
Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut Klonorkiasis. ( Juni, 2006 )

c.       Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autotokton.( Richard, 2008 )

d.      Morfologi dan daur hidup
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan di saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10- 25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu.
Telur dikeluarkan melalui tinja.
( Kus, 2009 )
Telur menetas bila dimakan keong air atau bulinus, semisulcospira. Dalam keong air, mirasedia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua, yaitu ikan ( famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik Kistainidisebutmetaserkaria. Perkembangan larva dalam keong air sebagai berikut: Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk kedalam duktus koledokus, lalu menuju kesaluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan.        ( Carpenito, 2007 )
                           
                     Gambar 2.2. Telur Clonorchis sinensis
                              (sumber: www. Chlonorcis-sinensi.com )
                             
e.       Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. ( Robert, 2008 )
f.       Patologi dan Gejala Klinis
Sejak larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran empedu dan penebalan diding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan kebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema.Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi. ( Inge, 2009 )
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadia tidak ditemukan gejala. Stadium progresifum ringan ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri atas pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati. ( Juni, 2006 )
g.      Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum. ( Juni, 2006 )
h.      Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel. ( Kus, 2006 )





3.      Telur Fasciola Hepatica Dewasa

a.      Pengertian
Fasciola hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh manusia. Fasciola tergolong dalam kelas trematoda, filum plathyhelminthes. Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Fasciola hepatica merupakan penyakit fascioliasis. Fascioliasis banyak ditemukan di negara-negara Amerika Latin dan negara negara sekitar Laut Tengah. ( Ganong, 2003 )
b.      Klasifikasi Ilmiah
Kelas            : Trematoda
     Ordo             : Diginea
     Famili           : Fasciolidae
     Genus           : Fasciola
Spesies         : Fasciola hepatica
      (Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c.       Morfologi
Fasciola hepatica merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk kelas Trematoda dan biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Pada bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. Sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa Fasciola hepatica penjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan. ( Widjajanti, 2006 )
                              
                       Gambar 2.3. Telur Fasciola hepatica dewasa
d.      Siklus Hidup
Telur Fasciola hepatica berukuran ± 140x80 mikron, operculum kecil, berisis morula, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalaqm keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium, penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing Fasciola hepatica akan menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam keong air terjadi perkembangan. Suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp . Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera setelah mirasidium tersebut menemukan siput Lymnaea sp., maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan menembus masuk ke dalam tubuh siput.  ( Juni, 2006 )
Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.Delapan hari kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan tulnbuh menjadi 1-6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. ( Carpenito, 2007 )
Serkaria tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan berenang, kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan ternak pemakan rumput, jeralni atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi metaserkaria, maka akan tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C, metaserkaria ini dapat bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati dan tidak infektif lagi. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. (Robert, 2002 )
e.       Distribusi Geografik
Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand Dalam siklus hidupnya, cacing Fasciola hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea bulimoides di Amerika Utara don Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. ( Diah, 2006 )
f.       Epidemiologi
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba. Telah dilaporkan sejak 20 tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut terjadi di negara empat musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica .
Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi. Oleh karena itu, World Health Organization fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Oleh karena itu inang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Penularan fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola
hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. ( Carpenito, 2007 )
g.      Patologi dan Diagnosis
Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan sirosis periportal. Kerusakan parenkim hati, peritonitis, kolesistitis, sirosisperiportal. ( Inge, 2009 )
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung dalam beberapa hari, dalam 6 minggu, atau antara 2-3 bulan, bahkan dapat lebih lama dari waktu tersebut di atas. Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan antara 40-42°C, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala kekuningan (jaundice). Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati. (Ganong, 2003)
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum / cairan empedu. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam tubuh penderita
. ( Robert, 2002 )
Pada infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik, dan seringkali diikuti dengan peningkatan isotipe antibodi imunoglobulin E (IgE) di dalam serum darah. tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing dalam tinja, usia penderita, gejala klinis dan jumlah eosinofil. Selain peningkatan kadar IgE dalam darah,bahwa isotipe antibodi yang paling awal dapat terdeteksi adalah IgG 1 dan IgG4. Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis fasciolosis menggunakan antigen dari ekstrak cacing dewasa, atau ekskretori/sekretori (ES) atau rekombinan. ( Juni, 2006 )
h.      Terapi atau Pengobatan
Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus ini dapat diobati dengan beberapa macam anthelmintik, seperti Bithionol, Hexachloro-para-xylol, Niclofolan, Metronidazole dan Triclabendazole. Namun dari semua obat cacing tersebut di atas, hanya Triclabendazole yang paling efektif untuk menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10 mg/kgBB yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari. Emetin HCl, diklorofenol ( Bitionol ), prazikuantel. Obat yang sering digunakan dalam membasmi cacing Fasciola hepatica dan sampai saat ini masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing Trematoda adalah prazikuantel (biltricide dan distocide).(Ganong, 2003 ).

4.      Telur Hymenolepis nana

a.      Pengertian
Hymenolepis nana merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia dan Hymenolepis diminuta  yang secara primer merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain tetapi dapat juga menginfeksi manusia. ( Nanda, 2005 )
Hymenolepiasis nana merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis nana stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus  manusia. ( Kus, 2009 )
Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian infeksi oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan menurut penelitian Adi sasongko dari  101 sampel yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ; Sasongko A dkk, 2002)
b.      Morfologi
Telur  Hymenolepis nana berbentuk oval atau bulat dengan ukuran 47 x 37 mikron, memiliki dinding berupa dua lapis membrane yang melindungi embrio heksakan di dalamnya. Pada kedua kutub membrane sebelah dalam, terdapat dua buah penebalan dimana keluar 4-8 filamen halus. Adanya filamen inilah yang dapat membedakan telur Hymenolepis nana dari  Hymenolepis diminuta. ( Robert, 2002 )
Hymenolepis nana yang  merupakan cacing pita yang sangat pendek dengan ukuran panjang 25 – 40 mm dan lebar 0,1 - 0,5 mm, dengan jumlah proglotidnya mencapai 200 buah. Scolex bulat dengan 4 batil isap seperti mangkok, memiliki rostelum yang pendek dan refraktil, berkait kecil dalam satu baris. Bagian lehernya panjang dan permukaannya halus. Strobila dimulai dari proglotid muda yang sangat pendek dan sempit, belum terbentuk organ genital, kearah distal semakin lebar dan pada ujung distal strobila membulat. Proglotid dewasa berbentuk trapezium dengan  lebar proglotid kira-kira 4 kali panjangnya, mempunyai ovarium sebuah dan berlobus, mempunyai testis bulat berjumlah 3 buah dengan porus genitalis unilateral. Pada proglotid gravid yang berbentuk trapezium, mempunyai lebar 4 kali panjangnya serta uterus berbentuk kantung yang berisi 80 – 180 butir telur. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009)
                  
                       Gambar 2.4. Telur Hymenolepis nana
               ( sumber : http://bbobobo.blogspot.com/2011/11/hymenolepis-nana.html )

c.       Hospes
Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit dan tikus.                    ( Juni, 2006 )
d.      Siklus Hidup
Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai beberapa minggu, sedangkan telur cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah dikeluarkan bersama feses hostnya. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes perantara, kecuali Hymenolepis nana var. fraterna yang hospes alamiahnya adalah tikus dan menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya. Proglotid gravid Hymenolepis nana akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi infektif bila dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika memakan telur cacing ini. Di dalam usus halus, telur akan menetas menjadi oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan kaitnya. Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini terdapat pada tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva ini akan kembali ke lumen usus penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI, 1987).
Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang telur dapat menetas di dalam lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi usus dan siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi pada individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).
e.       Epidemiologi
Hymenolepis nana tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub tropis maupun  tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin. (Maegraith B, 1985)
Kejadian Hymenolepiasis nana  sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah kering  dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis. (Strickland GT, 1984).
Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara / intermediate host. (Duerden BI et al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama  pada anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 %  pada anak-anak yang menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini belum diketahui secara pasti. ( Neva A and Brown HW,1994 ;  Joklik WK et al,1996 ;  Markell EK et al,1992)
Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar. (Strickland GT, 1984).
Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya baru timbul setelah 5 tahun kemudian. (Duerden BI et al, 1987).
Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang sehat dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak. ( Chin J, 2006 : Roberts J and Janovy Jr, 2000).
Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini pada host tunggal ( Joklik WK, 1996).
Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya  tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di dalam hemocoelenya. (Strickland GT, 1984 )
f.       Distribusi Geografi
Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah  Mesir, Sudan, Thailand, India, Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan Sicilia. (Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987)
g.      Patogenesa Dan Manifestasi Klinis
Perubahan patologis akibat Hymenolepiasis nana tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat. ( Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002 )
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis /asymptomatis atau hanya timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat  akibat infestasi lebih dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium, nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)
Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16% kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat. ( Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002 )
h.      Diagnosis
Gejala klinis pada Hymenolepiasis nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya telur dalam feses penderita. Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di dalam usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)
Diagnosa pasti terhadap Hymenolepiasis nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana  ukurannya relatif lebih kecil dan mempunyai  4-8 filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)
i.        Pengobatan
Sebagai obat pilihan dapat diberikan Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan vakuola pada leher cacing. (Natadisastra D  dan Agoes R, 2009)
Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini Paramomysin kurang efektif, sedangkan Quinacrine  sedikit bersifat toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK et al, 1992).

j.        Pencegahan
Infeksi oleh cacing pita ini umumnya terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Pada manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah, dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut. ( Juni, 2006 )
Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi utama maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini, perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar, meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

5.      Cacing Oxyuris vermucalis Betina

a.      Pengertian
Enterobiasis merupakan infeksi cacing yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan infeksi cacing lainnya. Hal inidisebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan manusiadan lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak didapatkan diantara kelompok dengan tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat sosial yang tinggi. ( Robert, 2002 )

b.      Klasifikasi Ilmiah
Kingdom  : Animalia
Filum       : Nematoda
Kelas       : Secernentea
Ordo        : Oxyurida
Famili      : Oxyuridae
Genus      : Oxyuris
Spesies    : Oxyuris vermicularis
     (Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c.       Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 x 0.4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid yang melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya. Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetris). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. ( Ganong, 2003 )

                
                   Gambar 2.5. Cacing Oxyuris vermivularis betina
               ( sumber : http://biologidewi.blogspot.com/2011/12/nemathelminthes.html )

d.      Siklus Hidup
Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus,kemudian telur melekat di daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 ºC dalam waktu 6 jam. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.   ( Diah, 2006 )
Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan,telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak adareinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir. ( Mitchel, 2000 )
e.       Distribusi Geografik
Penularan cacing ini tidak merata pada lapisan masyarakat melainkan menyebar pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Enterobiasis sering menyerang anak-anak usia 5-14 tahun. Udara yang dingin, lembab dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus.Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. E.vermicularis dan tidak diperlukan hospes perantara. ( Carpenito, 2007 )

f.       Epidemiologi
Insiden cacing Enterobius vermicularis tinggi di negara-negara barat terutama di USA yang mencapai 35-41%. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit oleh karena cukupnya sinar matahari, udara panas, kebiasaan ke WC dimana sehabis defekasi dicuci dengan air tidak dengan kertas toilet. Akibat dari hal tersebut pertumbuhan telur menjadi terhambat sehingga dapat dikatakan penyakit ini tidak berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan hidup.     ( Widjajanti, 2006 )
Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Cacing betina gravid, sering mengembara dan bersarang di vagina serta tuba fallopi. Cacing ini di tuba fallopi dapat menyebabkan salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang di temukan. ( Kus, 2009 )

g.      Gejala Klinis
  1. Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya di sana)
2.      Rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)
  1. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada infeksi yang berat)
  2. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk ke dalam vagina)
  3. Kulit di sekitar anus menjadi lecet, kasar, atau terjadi infeksi (akibat penggarukan).   ( Carpenito, 2007 )
Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritis ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan didaerah tersebut.  ( Carpenito, 2007 )
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan :
1.      Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
2.      Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3.      Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasikembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa
( Inge, 2009 )


h.      Diagnosis
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing dewasa atau telur dari cacing E. vermiculsris. Adapun caranya adalah sebagai berikut :

v  Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam larutan NaCl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan fiksasi untuk mengawetkan. ( Juni, 2006)
v  Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang positif pada orang-orang yang menderita infeksi ini. Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan teknik pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah sekitar anus dengan “Scotch adhesive tape swab”. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
i.        Pengobatan
Infeksi cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal obat anti-parasit mebendazole, albendazole atau pirantel pamoat. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. ( Juni, 2006 )
Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus sebanyak 2-3 kali/hari. ( Juni, 2006 )
Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup terus dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa. ( Mitchel, 2008 )

j.        Pencegahan
• Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
• Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
• Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
• Membersihkan jamban setiap hari
• Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari tangan dan setiap benda yang dipegang / disentuhnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

6.      Telur Cacing Tambang

a.      Morfologi
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada , 2006 )
                      Gambar 2.6. Telur Cacing Tambang
                                 (sumber: www.body_Hookworm.com )

b.      Hospes
Hospes parasit ini adalah manusia ( Juni, 2006 )
c.       Daur Hidup
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1–1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
d.      Distribusi Geografik
Telur cacing ini juga dapat ditemukan di daerah tropis dan subtropis antara 300 C utara dan selatan khatulistiwa. Beigal, Grenburg, dan Ostfeld (Inge, 2000)
e.       Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
f.       Gejala Klinik Dan Diagnosis
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
g.        Epidemiologi
Kejadian penyakit ini di Indonesiasering ditemukan terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat berperan dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 1998). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32oC – 38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah (Kementerian Kesehatan RI, 2006)

7.      Cacing Necator americanus Dewasa

a.      Klasifikasi Ilmiah
Phylum                  :           Nemathelminthes
Kelas                     :           Nematoda
Sub kelas               :           Secernantea
Ordo                      :           Strongylida
Super famili           :           Ancylostomatoidea
Famili                    :           Ancylostomatidae
Genus                    :           Ancylostoma dan necator 
Spesies                 :         Necator americanus
(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

b.      Morfologi
Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Setiap cacing betina dapat bertelur 9000 ekor per hari. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm. Sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Bentuk badan Necator Americanus biasanya berbentuk silindris menyerupai huruf S berwarna putih keabuan. Necator Americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai kopulatriks.  ( Gandahusada, 1988). 
  
           Gambar 2.7. Cacing Necator americanus Dewasa
                      ( sumber : www.cacing-perut-kremi-dan-cambuk.com )
c.       Siklus Hidup
Cacing Tambang Cacing dewasa di dalam usus halus manusia, kemudian telur keluar bersama feses dan mengalami embrionisasi di tanah . Di tempat lembab dan becek, telur menetas menjadi larva yang disebut rhabditiform (tidak infektif). Kemudian larva ini berubah menjadi filariform (infektif) yang dapat menembus kulit kaki dan masuk ke dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah, menuju jantung, paru - paru, faring, tenggorok, kemudian tertelan dan masuk ke dalam usus (migrasi paru, maturasi pada manusia lebih kurang 35 hari) . Di dalam usus, larva menjadi cacing dewasa yang siap menghisap darah kembali. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan (Soedarto, 1996  )
d.      Distribusi Geografik
Necator americanus dibawa dari Afrika dan kini tersebar sampai ke Amerika Serikat. (Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)
e.       Epidemiologi
            Cacing dewasa hidup dirongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina Necator americanus tiap hari mengeluarkan telur kura – kura 9000 butir . (Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)
            Penyebaran parasit pada waktu ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke daerah tropik dan sub tropik. Diperkirakan bahwa cacing tambang diseluruh dunia menghinggapi 700 juta orang,  menyebabkan kehilangan darah sejumlah 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia, sebanyak darah orang – orang yang berdiam di Washington, Taipeh atau Bangkok. (Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)

f.       Diagnosa

            Diagnosa pasti untuk infeksicacing tambang  dengan cara menemukan telur, larva atau cacing dewasa pada faeces yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi. ( Juni, 2006 )
g.      Gejala Klinis

Cacing tambang ini menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis, yang membuat penderita mengalami anemia berat, keletihan, menurunnya berat badan, rentan pada infeksi, dan diare berdarah. Gejala yang ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Bila jumlah larva infektif yang masuk banyak , maka dalam beberapa jam saja akan terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan, berupa panel yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini disebut “ground itch”                    (Poespoprodjo, 1999).
Bila larva infektif A. duodenale tertelan, maka sebahagian akan menuju ke usus dan tumbuh menjadi dewasa. Sebahagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring dan melewati paru - paru seperti larva menembus kulit. Cacing dewasa N. americanus yang menghisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing dewasa A. duodenale dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari (Ginting, 2003).





 

BAB III
Metode Praktikum

A.    Alat
1.      Mikroskop Cahaya dan Listrik
Ø Digunakan untuk melihat morfologi telur dan cacing
2.      Kertas Gambar A4
Ø Digunakan sebagai media atau tempat menggambar hasil pengamatan telur dan cacing
3.      Alat Tulis
Ø Digunakan sebagai alat bantu untuk menggambar hasil pengamatan jamur dan bakteri, seperti pensil, penghapus, penggaris, jangka, dll.
4.      Pensil Warna
Ø Digunakan untuk membantu mewarnai gambar hasil pengamatan

B.     Bahan
1.      Preparat Awetan
Ø  Digunakan sebagai objek yang diamati morfologinya. Yang terdiri dari :
-          Preparat Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
-           Praparat Telur  Clonorchis sinensis
-          Praparat Telur  Fasciola hepatica Dewasa
-          Praparat Telur Hymenolepis nana
-          Praparat Cacing  Oxyuring vermicularis Betina
-          Praparat Telur Cacing Tambang
-          Praparat Cacing Tambang ( Cacing Necotor americanus Dewasa )



C.    Skema Kerja Praktikum



 
              




 
                  
                  















 














BAB IV
Hasil dan Pembahasan

A.           Hasil

1.      Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina


Bentuk            : Parasiter
Dx Penyakit     : Strongiloidiasis
Perbesaran       : 40  x 10
       Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina

2.      Telur  Clonorchis sinensis
                   
Ukuran           : ± 29 x 16 mikron
Bentuk            : Seperti Kendi
Berisi              : Mirasidium
Perbesaran       : 40 x 10
    Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Telur  Clonorchis sinensis






3.      Telur  Fasciola hepatica Dewasa


Ukuran      : ± 140 x 80 mikron
Bentuk      : Operkulum Kecil Berisi Morula
Perbesaran : 40 x 10
           Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Telur  Fasciola hepatica Dewasa





4.        Telur Hymenolepis nana
                 

Ukuran      : ± 47 x 37 mikron
Bentuk      : Bulan / Bujur
Berisi        : Embrio Heksakan
Perbesaran   : 40 x 10
                  Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Telur Hymenolepis nana



5.      Cacing  Oxyuring vermicularis Betina


Dx Penyakit        : Oksiuriasis / Enterobiasis
Perbesaran          : 100 x 10
              Tabel 4.5.  Hasil Pengamatan Cacing  Oxyuring vermicularis Betina






6.      Telur Cacing Tambang
Ukuran          : ± 70 x 15 mikron
Bentuk           : Bulat Lonjong
Berdinding Tipis
Berisi              : Beberapa Sel
Perbesaran       : 40 x 10
               Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Telur Cacing Tambang



7.      Cacing Necator americanus Dewasa

Dx Penyakit   : Ankilostomiasis dan Nekatoriasis
Perbesaran     : 100 x 10
         Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Cacing Necator americanus Dewasa




B.       Pembahasan.

1.      Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
            Pada pengamatan cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
            Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing  Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis, panjang dan pada bagian ekor terlihat melengkung seperti ada pengait untuk parasiter. Selain itu, Cacing  Strongyloides stercoralis berwarna coklat atau kuning keemasan  . Pada cacing  Strongyloides stercoralis juga diketahui dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis.

2.      Telur Clonorchis sinensis
            Pada pengamatan telur Clonorchis sinensis, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
           Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong seperti kendi atau telur ayam, serta di sekelilingnya terdapat bagian – bagian seperti pulau – pulau kecil dan bulatan – bulatan hitam. Selain itu, telur Clonorchis sinensis berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Di dalam telur Clonorchis sinensis juga terlihat adanya cairan mirasidium yang berwarna bening kekuningan.
3.      Telur Fasciola hepatica Dewasa
            Pada pengamatan telur Fasciola hepatica dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
           Berasarkan hasil pegamatan, bentuk telur Fasciola hepatica dewasa adalah bulat, namun sedikit tidak teratur seperti operkulum. Selain itu, juga terdapat serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Warna dari telur itu adalah hijau tua keabuan. Di dalam telur Fasciola hepatica dewasa juga terlihat adadnya morula yang berbentuk kecil – kecil dan tidak teratur di dalam telur, serta berwarna bening keabuan. 

4.      Telur Hymenolepis nana
           Pada pengamatan telur Hymenolepis nana, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
           Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan,  serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna dari telur Hymenolepis nana tersebut adalah kuning bening  serta ada sedikit bagian yang berwarna biru. Di dalam telur Hymenolepis nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat berwarna kuning keemasan.


5.      Cacing Oxyuris vermicularis Betina
           Pada pengamatan cacing Oxyuris vermicularis betina, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
          Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong, panjang dan bagian ujungnya lancip. Warna dari cacing Oxyuris vermicularis betina yaitu coklat tua pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Selain itu, di dalam cacing juga terlihat seperti bagian dalam atau organ dari cacing Oxyuris vermicularis betina. Pada cacing Oxyuris vermicularis betina juga diketahui menyebabkan penyakit oksiuriasis atau enterobiasis.

6.      Telur Cacing Tambang
            Pada pengamatan telur cacing tambang, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
           Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur cacing tambang adalah bulat lonjong, tipis serta dikelilingi oleh bagian telur seperti pulau – pulau kecil atau kerak. Warna dari telur cacing tambang adalah merah muda kemerahan. Selain itu, di dalam telur cacing Oxyuris vermicularis betina juga terlihat beberapa sel yang berbentuk bulat tidak teratur menyebar di dalam telur.


7.      Cacing Necator americanus Dewasa
            Pada pengamatan cacing Necator americanus dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
           Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Necator americanus dewasa yaitu silindris panjang, dan tegak. Menurut hasil pengamatan, saya meneliti jika bagian yang nampak pada mikroskop adalah bagian punggung atau bawah cacing Necator americanus dewasa.  Warna dari cacing Necator americanus dewasa adalah coklat tua pada bagian luar dan coklat muda pada bagian dalam. Selain itu, pada bagian luar cacing Necator americanus dewasa  dikelilingi oleh pulau – pulau kecil berbentuk lingkaran yang tidak teratur berwarna coklat tua. Cacing Necator americanus dewasa juga diketahui menyebabkan penyakit ankilostomiasis dan nekatorisis. Bentuk telur Fasciola hepatica dewasa adalah bulat, namun sedikit tidak teratur seperti operkulum berwarna hijau tua keabuan, terdapat serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Bentuk telur cacing tambang adalah bulat lonjong, tipis berwarna merah muda kemerahan.






BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan,  bentuk morfologi, struktur tubuh dan  gejala klinis dari telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati. Karena masing – masing telur dan cacing  memliki sifat khas tersendiri.
          Bentuk cacing  Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis, panjang, berwarna coklat atau kuning keemasan. Bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong seperti kendi atau telur ayam berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan,  serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong, panjang dan bagian ujungnya lancip. Berwarna coklat tua pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Bentuk cacing Necator americanus dewasa yaitu silindris panjang, dan tegak berwarna coklat tua pada bagian luar dan coklat muda pada bagian dalam.







B.     Saran
Ada beberapa saran yang perlu saya sampaikan kepada pihak – pihak terkait :
1.      Fakultas perlu memperluas ruang laboratorium terpadu FKM Undip, karena mengingat ruangan yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang melakukan praktikum. Selain itu, fasilitas labortaorium juga perlu ditambah guna meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk melakukan kegiatan praktikum.
2.      Pihak Penanggung Jawab Praktikum perlu menambah waktu untuk melakukan praktikum, sehingga mahasiswa tidak hanya melakukan kegiatan pengamatan, namun mahasiswa juga bisa melakukan uji coba dari persiapan awal hingga akhir percobaan dengan maksimal.











Daftar Pustaka

Carpenito, Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Diah, Aryulina.2006.  Biologi 1. Jakarta : Erlangga
F.Ganong,William. 2003. Medical Physiologi and Medical publishing division.  Jakarta :  Garamedia
Gandasuda, Srisasi. 2006. Parasit Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Irianto, Kus. 2009. Parasitologi untuk Paramedis dan Nonmedis. Bandung: YramaWidya.
Mitchel, dkk. 2000. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta : EGC
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Prima Media
Prianto, Juni, dkk. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Gramedia
Richard,dkk. 2008. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC
Robert, dkk. 2002. Resensi Ilmu Laboratorium Klinis. Jakarta : 2002
Sutanto, Inge, dkk. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Widjajanti, S. 2006. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi di Indonesia?. Bogor : Balai Penelitian Veteriner.









Lampiran


5 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Maaf kak sebelumnya, aku mau nanya itu dapetin cacing oxyuris vermicularis dan strongyloides stercoralis beli dimana ya? Apa di UNDIP jual kak? Cacing-cacing itu bisa hidup diluar tubuh manusia kan kak? Aku butuh untuk bahan penelitian skripsi. Makasi sebelumnya kak 😊

Posting Komentar

 
Copyright GLORY SHINE 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .