BAB I
Pendahuluan
A.
Tujuan Praktikum
A.1. Mengamati morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis,
diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.
A.2. Mengidentifikasi
perbedaan-perbedaan dari masing-masing telur
dan cacing yang diamati.
B.
Manfaat Praktikum
B.1. Praktikan dapat mengidentifikasi
morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis,
diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.
B.2. Praktikan dapat membedakan jenis – jenis
telur dan cacing melalui identifikasi morfologi cacing.
BAB II
Dasar Teori
1.
Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
a.
Pengertian
Strongyloidiasis
stercoralis adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah
lembab. Cacing masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang
terkontaminasi cacing. Cacing kecil hampir tidak terlihat dengan mata
telanjang. Cacing gelang muda dapat bergerak melalui kulit seseorang dan masuk
ke dalam aliran darah ke paru-paru dan saluran udara. Ketika cacing bertambah
tua, mereka mengubur diri dalam dinding usus. Kemudian, mereka menghasilkan
telur dalam usus. Daerah di mana cacing masuk melalui kulit dapat menjadi merah
dan menyakitkan. ( Srisasi, 2006 )
b.
Klasifikasi Ilmiah
Filum :
Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub
kelas : Secernantea
Ordo : Rhabditida
Super famili
: Rhabditidae
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides
stercoralis
(Jeffry HC
dan Leach RM, 1983)
c. Morfologi
Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform
yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan
mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil
dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar. ( William, 2003 )
Cacing dewasa
betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya filform, halus,
tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan
partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur
menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan
bersama tinja ( William, 2003
)
Cacing betina yang hidup sebagai
parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor nematoda filariform
yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan
silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih
dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup
sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan
mempunyai sepasang alat reproduksi.. ( William,
2003 )
Gambar 2.1. Cacing Strongylides stercoralis Dewasa Betin
d.
Siklus Hidup
1.
Siklus langsung
Sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva
rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila larva filariform menembus
kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan
kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di
laring reflek batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai diusus
halus bagian atas dan menjadi dewasa. ( William,
2003 )
2.
Siklus tidak langsung
Larva rabditiform berubah
menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah pembuahan, cacing
betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menghasilkan
larva filariform yang infektif dan masuk kedalam hospes. ( William, 2003 )
3.
Auto infeksi
Larva rabditiform menjadi larva
filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila larva filariform
menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran
perkembangan di dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis
yang persisten, mungkin selama 36 tahun, di dalam penderita yang hidup di derah
non endemik. ( William, 2003 )
e. Distribusi Geografik
Distribusi geografik terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik,
sedangkan didaerah yang beriklim dingin jarang ditemukan. Penyebaran infeksi Strongyloides seiring
dengan infeksi cacing tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah
dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik dan sub tropik,
dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal
ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Guyton, 2006 )
f. Gejala Klinis
Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti
gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria, kadang-kadang timbul nausea, berat
badan turun, lemah dan konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal
karena gerakan larva menyebar dari arah dubur, dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2
hari atau ruam yang menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada
tubuh. Walaupun jarang terjadi, autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang
meningkat terutama pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah
dapat menyebabkan terjadinya Strongyloidiasis diseminata, terjadi
penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir
dengan kematian. Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan
oleh bakteri gram negatif. Pada stadium kronis dan pada penderita infeksi
berulang serta pada penderita infeksi human T-cell lymphotrophic virus
(HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga
dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada Strongyloidiasis disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun. ( Guyton, 2006 )
g. Cara-cara Penularan
Larva infektif
(filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang
terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-paru.
Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak
naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya
larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari
intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing
betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada
sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing
dewasa meletakkan telornya. Telor kemudian menetas melepaskan larva non
infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk
kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi
larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau
orang lain. Atau larva rhabditiform ini dapat berkembang menjadi
cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa betina
bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan
melepaskan larva non infektif rhabditiform yang kemudian dalam
24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.Kadangkala pada
orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi
larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus
dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan
auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahuntahun.(Guyton, 2006)
h. Epidemiologi
Penyebaran infeksi strongyloidiasis seiring dengan infeksi cacing tambang, tetapi
frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama
terdapat di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak
adanya sanitasi menguntungkan lingkaran hidupnya yang bebas. Di Amerika
Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Diah, 2006 )
i.
Diagnosa
Diagnosa pasti dapat ditegakkan
dengan ditemukannya larva pada daerah perianal yang diperiksa dengan metoda
graham scoth. . Menemukan
larva
dalam tinja sputum dalam cairan aspirasi duodenum (Enterotest). Pemeriksaan serologi Elisa,menggunakan antigen larva. Pemeriksaan tinja dapat dilakukan setelah konsentrasi(formalin-ethylacetate)dengan biakan tinja cara isolasi Baerman , setelah kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper kultur di agar plates , metode Charcoal. ( Juni, 2006 )
dalam tinja sputum dalam cairan aspirasi duodenum (Enterotest). Pemeriksaan serologi Elisa,menggunakan antigen larva. Pemeriksaan tinja dapat dilakukan setelah konsentrasi(formalin-ethylacetate)dengan biakan tinja cara isolasi Baerman , setelah kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper kultur di agar plates , metode Charcoal. ( Juni, 2006 )
j.
Terapi
Thiabendazole, Albendazole, Simptomatik untuk
diare, dehidrasi atau gangguan elektrolit. ( Diah, 2006 )
k.
Pencegahan
- Pengobatan penderita
- Pengobatan penderita
-
Mengatur pembuangan tinja, pembuatan latrin
-
Pendidikan tentang higiene kesehatan
-
Anjuran memakai alas kaki pada
daerah endemis
( Mitchel, 2000 )
2.
Telur Clonorchis sinensis
a. Pengertian
Cacing ini
pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 di saluran empedu pada seorang Cina di Kalkuta. ( Juni, 2006 )
b. Hospes
Manusia, kucing,
anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang
disebabkannya disebut Klonorkiasis. (
Juni, 2006 )
c. Distribusi Geografik
Cacing ini
ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autotokton.( Richard, 2008 )
d.
Morfologi
dan daur hidup
Cacing dewasa
hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan di saluran pankreas. Ukuran
cacing dewasa 10- 25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun.
Telur berukuran kira-kira 30 x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan
berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu.
Telur dikeluarkan melalui tinja. ( Kus, 2009 )
Telur dikeluarkan melalui tinja. ( Kus, 2009 )
Telur menetas
bila dimakan keong air atau bulinus,
semisulcospira. Dalam
keong air, mirasedia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari
hospes perantara dua, yaitu ikan ( famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh
ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik Kistainidisebutmetaserkaria. Perkembangan larva
dalam keong air sebagai berikut: Infeksi terjadi dengan
makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi
terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk kedalam duktus koledokus, lalu menuju
kesaluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan.
Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan. (
Carpenito, 2007 )
Gambar 2.2. Telur Clonorchis sinensis
(sumber: www.
Chlonorcis-sinensi.com )
e.
Epidemiologi
Kebiasaan makan
ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran
penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan
lebih ditujukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan
kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak dengan baik serta pemakaian jamban yang
tidak mencemari air sungai. ( Robert, 2008 )
f.
Patologi
dan Gejala Klinis
Sejak larva
masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan
iritasi saluran empedu dan penebalan diding saluran. Selain itu dapat terjadi
perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan kebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema.Luasnya organ
yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran
empedu dan lamanya infeksi. ( Inge, 2009 )
Gejala dapat
dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadia
tidak ditemukan gejala. Stadium progresifum ringan
ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan
pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang
terdiri atas pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis.
Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati. ( Juni, 2006 )
g.
Diagnosis
Diagnosis
ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum. ( Juni, 2006 )
h.
Pengobatan
Penyakit ini
dapat diobati dengan prazikuantel. (
Kus, 2006 )
3.
Telur Fasciola Hepatica Dewasa
a. Pengertian
Fasciola hepatica merupakan
salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh manusia. Fasciola
tergolong dalam kelas trematoda, filum plathyhelminthes. Hospes
cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan
pada manusia. Fasciola hepatica merupakan penyakit fascioliasis. Fascioliasis banyak ditemukan di negara-negara Amerika
Latin dan negara – negara sekitar Laut Tengah. ( Ganong, 2003 )
b. Klasifikasi Ilmiah
Kelas : Trematoda
Ordo : Diginea
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
(Jeffry HC
dan Leach RM, 1983)
c. Morfologi
Fasciola
hepatica merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk
kelas Trematoda dan biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat
cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13
mm. Pada bagian anterior
berbentuk seperti kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut
yang besarnya kira-kira 1 mm. Sedangkan
pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6
mm. Saluran pencernaan
bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga
bercabang-cabang. Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan.
Cacing dewasa Fasciola hepatica penjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala batil
isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum
bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang,
kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem
pencernaannya semacam kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani
sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel usus tidak bercabang tetapi pada
yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua bagian tubuh hal
ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan. ( Widjajanti, 2006 )
Gambar 2.3. Telur Fasciola hepatica dewasa
d. Siklus Hidup
Telur
Fasciola hepatica berukuran ± 140x80
mikron, operculum kecil, berisis morula, dikeluarkan melalui saluran empedu ke
dalam tinja dalaqm keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah
9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium,
penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing Fasciola hepatica akan
menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C. Telur kemudian menetas dan mirasidium
keluar dan mencari keong air, dalam keong air terjadi perkembangan. Suhu yang
diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu
optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30
jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut
getar) dan sangat aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara
yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp .
Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera
setelah mirasidium tersebut menemukan siput Lymnaea
sp., maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan menembus
masuk ke dalam tubuh siput. ( Juni, 2006 )
Dalam
waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi
sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola
gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama
75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.Delapan
hari kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis
akan tulnbuh menjadi 1-6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan
keluar dari tubuh siput. ( Carpenito, 2007 )
Serkaria
tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan
berenang, kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang
dilaluinya termasuk pada rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria
keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu
tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria.
Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan ternak pemakan rumput,
jeralni atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi metaserkaria, maka akan
tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C,
metaserkaria ini dapat bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena
sinar matahari langsung akan cepat mati dan tidak infektif lagi. Bila ditelan,
metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut
dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. (Robert, 2002 )
e. Distribusi Geografik
Fasciola hepatica
umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan,
Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand Dalam
siklus hidupnya, cacing Fasciola hepatica
memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea
truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea
tomentosa di Australia, Lymnaea bulimoides
di Amerika Utara don Lymnaea collumella
di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. ( Diah, 2006 )
f. Epidemiologi
Fasciolosis
merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan
umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba. Telah
dilaporkan sejak 20 tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia
semakin banyak. Umumnya kasus tersebut terjadi di negara empat musim atau
subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica .
Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi. Oleh karena itu, World Health Organization fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Oleh karena itu inang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Penularan fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. ( Carpenito, 2007 )
Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi. Oleh karena itu, World Health Organization fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Oleh karena itu inang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Penularan fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. ( Carpenito, 2007 )
g. Patologi dan Diagnosis
Migrasi
cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati.
Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga
menimbulkan sirosis periportal. Kerusakan parenkim hati, peritonitis,
kolesistitis, sirosisperiportal.
( Inge, 2009 )
Masa
inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung
dalam beberapa hari, dalam 6 minggu, atau antara 2-3 bulan, bahkan dapat lebih
lama dari waktu tersebut di atas. Gejala klinis yang paling menonjol adalah
adanya gejala anemia. Selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan
antara 40-42°C, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila penyakit
berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan
gejala kekuningan (jaundice). Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, dapat
mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati. (Ganong, 2003)
Diagnosis
ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum / cairan empedu.
Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam tubuh penderita. ( Robert, 2002 )
Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam tubuh penderita. ( Robert, 2002 )
Pada
infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah
eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik, dan seringkali diikuti dengan
peningkatan isotipe antibodi imunoglobulin E (IgE) di dalam serum darah.
tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing
dalam tinja, usia penderita, gejala klinis dan jumlah eosinofil. Selain
peningkatan kadar IgE dalam darah,bahwa isotipe antibodi yang paling awal dapat
terdeteksi adalah IgG 1 dan IgG4. Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis
fasciolosis menggunakan antigen dari ekstrak cacing dewasa, atau
ekskretori/sekretori (ES) atau rekombinan. (
Juni, 2006 )
h. Terapi atau
Pengobatan
Bila
upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus
ini dapat diobati dengan beberapa macam anthelmintik, seperti Bithionol,
Hexachloro-para-xylol, Niclofolan, Metronidazole dan Triclabendazole. Namun
dari semua obat cacing tersebut di atas, hanya Triclabendazole yang paling
efektif untuk menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10 mg/kgBB
yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari. Emetin
HCl, diklorofenol ( Bitionol ), prazikuantel. Obat yang
sering digunakan dalam membasmi cacing Fasciola
hepatica dan sampai
saat ini masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing Trematoda
adalah prazikuantel (biltricide dan distocide).(Ganong, 2003
).
4.
Telur Hymenolepis nana
a. Pengertian
Hymenolepis nana
merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing pita kerdil
/dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis
yang menginfeksi manusia. Dua spesies tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia
dan Hymenolepis diminuta yang secara primer merupakan parasit pada
tikus, mencit dan rodensia lain tetapi dapat juga menginfeksi manusia. ( Nanda, 2005 )
Hymenolepiasis
nana merupakan penyakit cacing pita yang
disebabkan oleh Hymenolepis nana
stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus manusia. (
Kus, 2009 )
Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian
infeksi oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono,
di Jakarta ditemukan cacing pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel
survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan menurut
penelitian Adi sasongko dari 101 sampel
yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ; Sasongko
A dkk, 2002)
b.
Morfologi
Telur Hymenolepis nana berbentuk oval atau
bulat dengan ukuran 47 x 37 mikron, memiliki dinding berupa dua lapis membrane
yang melindungi embrio heksakan di dalamnya. Pada kedua kutub membrane sebelah
dalam, terdapat dua buah penebalan dimana keluar 4-8 filamen halus. Adanya
filamen inilah yang dapat membedakan telur Hymenolepis
nana dari Hymenolepis diminuta. (
Robert, 2002 )
Hymenolepis nana
yang
merupakan cacing pita yang sangat pendek dengan ukuran panjang 25 – 40
mm dan lebar 0,1 - 0,5 mm, dengan jumlah proglotidnya mencapai 200 buah. Scolex
bulat dengan 4 batil isap seperti mangkok, memiliki rostelum yang pendek dan
refraktil, berkait kecil dalam satu baris. Bagian lehernya panjang dan
permukaannya halus. Strobila dimulai dari proglotid muda yang sangat pendek dan
sempit, belum terbentuk organ genital, kearah distal semakin lebar dan pada
ujung distal strobila membulat. Proglotid dewasa berbentuk trapezium
dengan lebar proglotid kira-kira 4 kali
panjangnya, mempunyai ovarium sebuah dan berlobus, mempunyai testis bulat
berjumlah 3 buah dengan porus genitalis unilateral. Pada proglotid gravid yang
berbentuk trapezium, mempunyai lebar 4 kali panjangnya serta uterus berbentuk
kantung yang berisi 80 – 180 butir telur. ( Neva A and Brown HW, 1994 ;
Natadisastra D dan Agoes R, 2009)
Gambar 2.4. Telur Hymenolepis nana
c.
Hospes
Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia,
mencit dan tikus. ( Juni, 2006 )
d.
Siklus Hidup
Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari
ileum. Cacing ini dapat hidup sampai beberapa minggu, sedangkan telur cacing
ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah dikeluarkan bersama
feses hostnya. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes
perantara, kecuali Hymenolepis nana
var. fraterna yang hospes alamiahnya
adalah tikus dan menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya.
Proglotid gravid Hymenolepis nana
akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi
infektif bila dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika
memakan telur cacing ini. Di dalam usus halus, telur akan menetas menjadi
oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan kaitnya.
Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini
terdapat pada tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva
ini akan kembali ke lumen usus penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2
minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI, 1987).
Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur
dalam tinja hospes. Kadang-kadang telur dapat menetas di dalam lumen usus halus
penderita kemudian oncospher akan menembus villi usus dan siklus hidupnya akan
berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai autoinfeksi
interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi
pada individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).
e.
Epidemiologi
Hymenolepis nana
tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub tropis
maupun tropis serta lebih banyak terjadi
didaerah panas daripada di daerah dingin. (Maegraith B, 1985)
Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal
dari daerah kering dan biasanya infeksi
pada penderitanya bersifat asymtomatis. (Strickland GT, 1984).
Hymenolepis nana
adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada
manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka
memungkinkan penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi.
Parasit ini merupakan cacing pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang
tidak memerlukan induk semang antara / intermediate host. (Duerden BI et
al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa
terutama pada anak-anak usia 8 tahun.
Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing
pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7
%, walaupun pada daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak yang menderita akibat infeksi
oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini
belum diketahui secara pasti. ( Neva A and Brown HW,1994 ; Joklik WK et al,1996 ; Markell EK et al,1992)
Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada
daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan lingkungan yang kurang baik. Infeksi
lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di dalam suatu
institusi dari pada di dalam populasi yang besar. (Strickland GT, 1984).
Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status imunodefisiensi. Infeksi mungkin
mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya baru timbul
setelah 5 tahun kemudian. (Duerden BI et al, 1987).
Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke
mulut, atau infeksi dapat terjadi karena menelan telur cacing yang
mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang sehat dari
anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak. ( Chin
J, 2006 : Roberts J and Janovy Jr, 2000).
Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting
bagi manusia lainnya, walaupun tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber
infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti feses rodent yang
mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti
kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari
ratusan cacing pita ini pada host tunggal ( Joklik WK, 1996).
Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan
biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara
ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui
makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai
karena telur cacing pita ini mempunyai daya
tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat
terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi
cisticercoid di dalam hemocoelenya. (Strickland GT, 1984 )
f.
Distribusi Geografi
Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah
Mesir, Sudan, Thailand, India, Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia
dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan Sicilia. (Manson-Bahr
PEC and Bell DR, 1987)
g.
Patogenesa
Dan Manifestasi Klinis
Perubahan patologis akibat Hymenolepiasis nana
tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya
penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini
biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi
desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa,
sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat. ( Soedarto,2008 ;
Ongkowaluyo JS, 2002 )
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan
gejala klinis /asymptomatis atau hanya timbul gangguan pada perut yang terlihat
kurang nyata. Pada infeksi yang berat
akibat infestasi lebih dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang
biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya
nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium, nyeri perut dengan atau
tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus anal,
uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan
kegelisahan. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr
PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr,
2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)
Hymenolepiasis
nana yang berat pada anak – anak dapat
menimbulkan asthenia, penurunan Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia,
nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan saraf serta reaksi
alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16%
kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi
autoinfeksi interna sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare
bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat. ( Soedarto,2008
; Ongkowaluyo JS, 2002 )
h.
Diagnosis
Gejala klinis pada Hymenolepiasis
nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa
penyakit ini tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya telur
dalam feses penderita. Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses,
karena telah mengalami desintegrasi di dalam usus sebelum dikeluarkan. Bila
ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada bagian
scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)
Diagnosa pasti terhadap Hymenolepiasis
nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur
yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana ukurannya
relatif lebih kecil dan mempunyai 4-8
filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta ukurannya relatif
lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)
i.
Pengobatan
Sebagai obat pilihan dapat diberikan Niclosamide
/Yomesan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7
hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis tunggal 15 mg/kg barat
badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan
berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan
vakuola pada leher cacing. (Natadisastra D
dan Agoes R, 2009)
Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin
dan Quinacrine walaupun dalam hal ini Paramomysin kurang efektif, sedangkan
Quinacrine sedikit bersifat toxic.
(Joklik WK,1996; Markell EK et al, 1992).
j.
Pencegahan
Infeksi oleh cacing pita ini umumnya terjadi secara
langsung dari tangan ke mulut. Pada manusia infeksi selalu disebabkan oleh
telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah, dari tempat-tempat
defekasi atau langsung dari anus ke mulut. (
Juni, 2006 )
Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan
manusia sebagai sumber infeksi utama maka pencegahannya agak sulit dilakukan.
Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini, perlu meningkatkan
kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar,
meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita
sehingga tidak menjadi sumber penularan serta memberantas hospes reservoar
sebagai sumber infeksi seperti tikus dan hewan pengerat lainnya. (Brown HW,
1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
5.
Cacing Oxyuris
vermucalis Betina
a.
Pengertian
Enterobiasis merupakan infeksi
cacing yang
terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan infeksi cacing lainnya. Hal inidisebabkan
karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan manusiadan
lingkungan sekitarnya. Parasit ini
lebih banyak didapatkan diantara kelompok dengan tingkat sosial yang
rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat sosial yang tinggi. ( Robert, 2002 )
b. Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuridae
Genus : Oxyuris
Spesies : Oxyuris vermicularis
(Jeffry HC
dan Leach RM, 1983)
c. Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 x 0.4
mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut
alae. Ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid yang
melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai
sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya. Cacing
betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur. Telur berbentuk
lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetris). Dinding telur bening dan
agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. ( Ganong, 2003 )
Gambar 2.5. Cacing Oxyuris vermivularis betina
d. Siklus Hidup
Cacing dewasa betina mengandung
banyak telur pada malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke
daerah perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration.
Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam
tinja. Di daerah perinium tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi
uterus,kemudian telur melekat di daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva
infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 ºC dalam
waktu 6 jam. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam
keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Waktu yang diperlukan untuk
daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa
gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu
sampai 2 bulan. ( Diah, 2006 )
Infeksi cacing kremi terjadi bila
menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas di daerah
perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang
tertelan,telur menetas di duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali
sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum. Infeksi cacing kremi
dapat sembuh sendiri. Bila tidak adareinfeksi, tanpa
pengobatanpun infeksi dapat berakhir. ( Mitchel,
2000 )
e. Distribusi Geografik
Penularan cacing ini tidak merata
pada lapisan masyarakat melainkan menyebar pada suatu keluarga atau
kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Enterobiasis
sering menyerang anak-anak usia 5-14 tahun. Udara yang dingin, lembab dan
ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus
besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah
isi dari usus.Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. E.vermicularis
dan tidak diperlukan hospes perantara. ( Carpenito,
2007 )
f. Epidemiologi
Insiden cacing Enterobius
vermicularis tinggi di negara-negara barat terutama di USA yang mencapai
35-41%. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit oleh karena cukupnya sinar
matahari, udara panas, kebiasaan ke WC dimana sehabis defekasi dicuci dengan
air tidak dengan kertas toilet. Akibat dari hal tersebut pertumbuhan telur
menjadi terhambat sehingga dapat dikatakan penyakit ini tidak berhubungan
dengan keadaan sosial ekonomi tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan
hidup. ( Widjajanti, 2006 )
Enterobiasis sering tidak
menimbulkan gejala (asimptomatis). Cacing betina gravid, sering mengembara dan
bersarang di vagina serta tuba fallopi. Cacing ini di tuba fallopi dapat
menyebabkan salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita
usia subur, sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba.
Cacing juga sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan apendisitis,
meskipun jarang di temukan. ( Kus, 2009 )
g. Gejala Klinis
- Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya di sana)
2. Rewel
(karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)
- Nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada infeksi yang berat)
- Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk ke dalam vagina)
- Kulit di sekitar anus menjadi lecet, kasar, atau terjadi infeksi (akibat penggarukan). ( Carpenito, 2007 )
Oleh karena cacing bermigrasi ke
daerah anus dan menyebabkan pruritis ani, maka penderita menggaruk daerah
sekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus. Keadaan ini sering
terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi
lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal
sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan didaerah
tersebut. ( Carpenito, 2007 )
Cara penularan Enterobius
vermicularis dapat melalui tiga jalan :
1.
Penularan dari tangan ke mulut
penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah memegang benda
yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam
penderita.
2.
Melalui pernafasan dengan menghisap
udara yang tercemar telur yang infektif.
3.
Penularan secara retroinfeksi yaitu
penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena larva yang menetas
di daerah perianal mengadakan migrasikembali ke usus penderita dan tumbuh
menjadi cacing dewasa
( Inge, 2009 )
h. Diagnosis
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu
dengan menemukan adanya cacing dewasa atau telur dari cacing E. vermiculsris.
Adapun caranya adalah sebagai berikut :
v
Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam
feses, dicuci dalam larutan NaCl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi
lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan
fiksasi untuk mengawetkan. ( Juni, 2006)
v
Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang positif
pada orang-orang yang menderita infeksi ini. Telur cacing E. vermicularis lebih
mudah ditemukan dengan teknik pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah
sekitar anus dengan “Scotch adhesive tape swab”. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996;
Onggowaluyo JS, 2002)
i.
Pengobatan
Infeksi
cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal obat
anti-parasit mebendazole,
albendazole
atau pirantel pamoat.
Seluruh anggota keluarga
dalam satu rumah
harus meminum obat
tersebut karena infeksi
ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. ( Juni, 2006 )
Untuk mengurangi
rasa gatal, bisa dioleskan krim
atau salep
anti gatal ke daerah sekitar anus
sebanyak 2-3 kali/hari. ( Juni, 2006 )
Meskipun telah
diobati, sering terjadi infeksi
ulang karena telur
yang masih hidup terus dibuang ke dalam tinja
selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian,
seprei
dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang
tersisa. ( Mitchel, 2008 )
j.
Pencegahan
• Mencuci tangan sebelum makan dan
setelah buang air besar
• Memotong kuku dan menjaga
kebersihan kuku
• Mencuci seprei minimal 2
kali/minggu
• Membersihkan jamban setiap hari
• Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari tangan dan
setiap benda yang dipegang / disentuhnya. (Brown
HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
6. Telur Cacing Tambang
a. Morfologi
Telur
cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing
tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron,
berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah
dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform.
Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut
terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective
larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.
(Gandahusada , 2006 )
Gambar 2.6. Telur Cacing
Tambang
b. Hospes
Hospes
parasit ini adalah manusia ( Juni, 2006
)
c. Daur Hidup
Daur hidup
cacing tambang adalah sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama
tinja, setelah 1–1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform
yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah
menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di
paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring.
Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi
cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut
tertelan bersama makanan. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
d.
Distribusi Geografik
Telur cacing ini
juga dapat ditemukan di daerah tropis dan subtropis antara 300 C utara dan
selatan khatulistiwa. Beigal, Grenburg, dan Ostfeld (Inge, 2000)
e.
Patofisiologi
Cacing
tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding
usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah
secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia)
akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas (Kementerian
Kesehatan RI, 2006)
f.
Gejala Klinik Dan Diagnosis
Gejala
klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah,
konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja
menurun dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat
eosinofilia. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
g.
Epidemiologi
Kejadian
penyakit ini di Indonesiasering ditemukan terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya
sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah
gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang
air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat berperan
dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 1998). Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32oC
– 38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai
sandal atau sepatu bila keluar rumah (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
7.
Cacing Necator
americanus Dewasa
a.
Klasifikasi Ilmiah
Phylum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Sub
kelas
: Secernantea
Ordo
: Strongylida
Super
famili :
Ancylostomatoidea
Famili
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma dan
necator
Spesies
: Necator americanus
(Jeffry
HC dan Leach RM, 1983)
b.
Morfologi
Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm,
cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Setiap cacing
betina dapat bertelur 9000 ekor per hari.
Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm. Sedangkan
betina berukuran 10 sampai 13 mm. Bentuk
badan Necator Americanus biasanya berbentuk silindris menyerupai
huruf S berwarna putih keabuan.
Necator Americanus mempunyai benda
kitin, sedangkan pada Ancylostoma
duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai kopulatriks. (
Gandahusada, 1988).
Gambar
2.7. Cacing Necator americanus Dewasa
c.
Siklus Hidup
Cacing Tambang Cacing dewasa di dalam usus halus manusia, kemudian telur
keluar bersama feses dan mengalami embrionisasi di tanah . Di tempat lembab dan
becek, telur menetas menjadi larva yang disebut rhabditiform (tidak infektif).
Kemudian larva ini berubah menjadi filariform (infektif) yang dapat menembus
kulit kaki dan masuk ke dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah, menuju
jantung, paru - paru, faring, tenggorok, kemudian tertelan dan masuk ke dalam
usus (migrasi paru, maturasi pada manusia lebih kurang 35 hari) . Di dalam
usus, larva menjadi cacing dewasa yang siap menghisap darah kembali. Selain
dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi pasif yaitu bila kista
(larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan (Soedarto, 1996 )
d. Distribusi Geografik
Necator americanus dibawa dari
Afrika dan kini tersebar sampai ke Amerika Serikat. (Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)
e. Epidemiologi
Cacing dewasa hidup dirongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada
mukosa dinding usus. Cacing betina Necator americanus tiap hari
mengeluarkan telur kura – kura 9000 butir . (Volk dan
Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)
Penyebaran parasit pada waktu ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas
ke daerah tropik dan sub tropik. Diperkirakan bahwa cacing tambang diseluruh
dunia menghinggapi 700 juta orang, menyebabkan kehilangan darah sejumlah
7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari sejuta manusia, sebanyak
darah orang – orang yang berdiam di Washington, Taipeh atau Bangkok. (Volk dan
Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)
f. Diagnosa
Diagnosa pasti untuk infeksicacing tambang dengan cara menemukan telur,
larva atau cacing dewasa pada faeces yang dapat diperiksa secara langsung
maupun konsentrasi. ( Juni, 2006 )
g. Gejala Klinis
Cacing tambang ini menyebabkan
penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis, yang membuat penderita mengalami
anemia berat, keletihan, menurunnya berat badan, rentan pada infeksi, dan diare
berdarah. Gejala yang ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva
infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Bila jumlah larva infektif
yang masuk banyak , maka dalam beberapa jam saja akan terjadi reaksi alergi
terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan, berupa panel yang dapat
menjadi vesikel. Reaksi ini disebut “ground itch” (Poespoprodjo,
1999).
Bila larva infektif A. duodenale
tertelan, maka sebahagian akan menuju ke usus dan tumbuh menjadi dewasa.
Sebahagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring dan melewati paru - paru
seperti larva menembus kulit. Cacing dewasa N. americanus yang menghisap darah
penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan
seekor cacing dewasa A. duodenale dapat menimbulkan kekurangan darah sampai
0,34 cc per hari (Ginting, 2003).
BAB III
Metode Praktikum
A.
Alat
1.
Mikroskop Cahaya dan Listrik
Ø Digunakan
untuk melihat morfologi telur dan cacing
2.
Kertas Gambar A4
Ø Digunakan
sebagai media atau tempat menggambar hasil pengamatan telur dan cacing
3.
Alat Tulis
Ø Digunakan
sebagai alat bantu untuk menggambar hasil pengamatan jamur dan bakteri, seperti
pensil, penghapus, penggaris, jangka, dll.
4.
Pensil Warna
Ø Digunakan
untuk membantu mewarnai gambar hasil pengamatan
B.
Bahan
1.
Preparat Awetan
Ø Digunakan
sebagai objek yang diamati morfologinya. Yang terdiri dari :
-
Preparat Cacing Strongyloides
stercoralis Dewasa Betina
-
Praparat
Telur Clonorchis sinensis
-
Praparat Telur
Fasciola hepatica Dewasa
-
Praparat Telur Hymenolepis
nana
-
Praparat Cacing
Oxyuring vermicularis Betina
-
Praparat Telur Cacing Tambang
-
Praparat Cacing Tambang ( Cacing Necotor americanus Dewasa )
C.
Skema Kerja
Praktikum
BAB IV
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
1.
Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
|
Bentuk : Parasiter
|
Dx
Penyakit : Strongiloidiasis
|
Perbesaran :
40 x 10
|
Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
2.
Telur Clonorchis
sinensis
|
Ukuran : ±
29 x 16 mikron
|
Bentuk : Seperti Kendi
|
Berisi : Mirasidium
|
Perbesaran : 40
x 10
|
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Telur Clonorchis
sinensis
3.
Telur Fasciola
hepatica Dewasa
|
Ukuran :
± 140 x 80 mikron
|
Bentuk : Operkulum Kecil Berisi Morula
|
Perbesaran
: 40 x 10
|
Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Telur Fasciola
hepatica Dewasa
4.
Telur Hymenolepis
nana
|
Ukuran : ± 47 x 37 mikron
|
Bentuk : Bulan / Bujur
|
Berisi : Embrio Heksakan
|
Perbesaran : 40 x 10
|
Tabel 4.4.
Hasil Pengamatan Telur Hymenolepis nana
5.
Cacing Oxyuring
vermicularis Betina
|
Dx
Penyakit : Oksiuriasis / Enterobiasis
|
Perbesaran : 100 x 10
|
Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Cacing Oxyuring
vermicularis Betina
6.
Telur Cacing
Tambang
|
Ukuran : ± 70 x 15 mikron
|
Bentuk : Bulat Lonjong
|
Berdinding
Tipis
|
Berisi : Beberapa Sel
|
Perbesaran : 40 x 10
|
Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Telur Cacing
Tambang
7.
Cacing Necator americanus Dewasa
|
Dx
Penyakit : Ankilostomiasis dan
Nekatoriasis
|
Perbesaran : 100 x 10
|
Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Cacing Necator americanus Dewasa
B.
Pembahasan.
1.
Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina
Pada
pengamatan cacing Strongyloides
stercoralis dewasa betina, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan
mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan,
bentuk cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis,
panjang dan pada bagian ekor terlihat melengkung seperti ada pengait untuk
parasiter. Selain itu, Cacing Strongyloides stercoralis berwarna
coklat atau kuning keemasan . Pada
cacing Strongyloides stercoralis juga diketahui dapat menyebabkan penyakit
strongiloidiasis.
2.
Telur Clonorchis sinensis
Pada
pengamatan telur Clonorchis sinensis,
saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing
tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
telur Clonorchis sinensis adalah
bulat, pipih, lonjong seperti kendi atau telur ayam, serta di sekelilingnya
terdapat bagian – bagian seperti pulau – pulau kecil dan bulatan – bulatan
hitam. Selain itu, telur Clonorchis
sinensis berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Di dalam telur Clonorchis sinensis juga terlihat adanya
cairan mirasidium yang berwarna bening kekuningan.
3.
Telur Fasciola hepatica Dewasa
Pada
pengamatan telur Fasciola hepatica dewasa,
saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing
tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berasarkan hasil pegamatan, bentuk
telur Fasciola hepatica dewasa adalah
bulat, namun sedikit tidak teratur seperti operkulum. Selain itu, juga terdapat
serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Warna dari telur itu adalah hijau
tua keabuan. Di dalam telur Fasciola
hepatica dewasa juga terlihat adadnya morula yang berbentuk kecil – kecil
dan tidak teratur di dalam telur, serta berwarna bening keabuan.
4.
Telur Hymenolepis nana
Pada
pengamatan telur Hymenolepis nana,
saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing
tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
telur Hymenolepis nana adalah bulat
seperti bulan, serta ada juga di
sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna
dari telur Hymenolepis nana tersebut
adalah kuning bening serta ada sedikit
bagian yang berwarna biru. Di dalam telur Hymenolepis
nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat berwarna
kuning keemasan.
5.
Cacing Oxyuris vermicularis Betina
Pada pengamatan cacing Oxyuris vermicularis betina, saya
meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak
terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
cacing Oxyuris vermicularis betina
adalah lonjong, panjang dan bagian ujungnya lancip. Warna dari cacing Oxyuris vermicularis betina yaitu coklat
tua pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Selain itu, di dalam
cacing juga terlihat seperti bagian dalam atau organ dari cacing Oxyuris vermicularis betina. Pada cacing
Oxyuris vermicularis betina juga
diketahui menyebabkan penyakit oksiuriasis atau enterobiasis.
6.
Telur Cacing
Tambang
Pada pengamatan telur cacing
tambang, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena telur
cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
telur cacing tambang adalah bulat lonjong, tipis serta dikelilingi oleh bagian
telur seperti pulau – pulau kecil atau kerak. Warna dari telur cacing tambang
adalah merah muda kemerahan. Selain itu, di dalam telur cacing Oxyuris vermicularis betina juga
terlihat beberapa sel yang berbentuk bulat tidak teratur menyebar di dalam
telur.
7.
Cacing Necator
americanus Dewasa
Pada
pengamatan cacing Necator americanus dewasa,
saya meneliti menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing
tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
cacing Necator americanus dewasa
yaitu silindris panjang, dan tegak. Menurut hasil pengamatan, saya meneliti
jika bagian yang nampak pada mikroskop adalah bagian punggung atau bawah cacing
Necator americanus dewasa. Warna dari cacing Necator americanus dewasa adalah coklat tua pada bagian luar dan
coklat muda pada bagian dalam. Selain itu, pada bagian luar cacing Necator americanus dewasa dikelilingi oleh pulau – pulau kecil
berbentuk lingkaran yang tidak teratur berwarna coklat tua. Cacing Necator americanus dewasa juga diketahui
menyebabkan penyakit ankilostomiasis dan nekatorisis. Bentuk telur Fasciola hepatica dewasa adalah bulat,
namun sedikit tidak teratur seperti operkulum berwarna hijau tua keabuan,
terdapat serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Bentuk telur cacing
tambang adalah bulat lonjong, tipis berwarna merah muda kemerahan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan
pembahasan, bentuk morfologi, struktur
tubuh dan gejala klinis dari telur dan
cacing dari sebagian cacing yang diamati. Karena masing – masing telur dan
cacing memliki sifat khas tersendiri.
Bentuk cacing Strongyloides
stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis, panjang, berwarna coklat
atau kuning keemasan. Bentuk telur Clonorchis
sinensis adalah bulat, pipih, lonjong seperti kendi atau telur ayam
berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan, serta ada juga di sekeliling telur itu yang
berbentuk bujur panjang dan tipis. Bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong, panjang dan bagian
ujungnya lancip. Berwarna coklat tua pada bagian dalam dan coklat muda pada
bagian luar. Bentuk cacing Necator
americanus dewasa yaitu silindris panjang, dan tegak berwarna coklat tua
pada bagian luar dan coklat muda pada bagian dalam.
B.
Saran
Ada beberapa saran yang perlu saya sampaikan kepada
pihak – pihak terkait :
1.
Fakultas perlu memperluas ruang laboratorium terpadu
FKM Undip, karena mengingat ruangan yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah
mahasiswa yang melakukan praktikum. Selain itu, fasilitas labortaorium juga
perlu ditambah guna meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk melakukan kegiatan
praktikum.
2.
Pihak Penanggung Jawab Praktikum perlu menambah
waktu untuk melakukan praktikum, sehingga mahasiswa tidak hanya melakukan
kegiatan pengamatan, namun mahasiswa juga bisa melakukan uji coba dari persiapan
awal hingga akhir percobaan dengan maksimal.
Daftar Pustaka
Carpenito, Moyet. 2007. Buku Saku
Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Diah, Aryulina.2006. Biologi
1. Jakarta : Erlangga
F.Ganong,William. 2003. Medical Physiologi and Medical
publishing division.
Jakarta : Garamedia
Gandasuda,
Srisasi. 2006. Parasit Kedokteran.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Irianto, Kus. 2009. Parasitologi untuk Paramedis dan
Nonmedis. Bandung:
YramaWidya.
Mitchel, dkk. 2000. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta : EGC
Nanda. 2005. Panduan
Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Prima Media
Prianto, Juni, dkk. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
Gramedia
Richard,dkk. 2008. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta : EGC
Robert, dkk. 2002. Resensi Ilmu Laboratorium Klinis.
Jakarta : 2002
Sutanto, Inge, dkk. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Widjajanti, S. 2006. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi
di Indonesia?. Bogor : Balai
Penelitian Veteriner.
Lampiran
5 komentar:
Maaf kak sebelumnya, aku mau nanya itu dapetin cacing oxyuris vermicularis dan strongyloides stercoralis beli dimana ya? Apa di UNDIP jual kak? Cacing-cacing itu bisa hidup diluar tubuh manusia kan kak? Aku butuh untuk bahan penelitian skripsi. Makasi sebelumnya kak 😊
Posting Komentar