1.1 LATAR
BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan lingkungan hidup dapat mempengaruhi perubahan pola
penyakit yang dapat menimbulkan epidemik dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Epidemik adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu. Di negara-negara berkembang jenis
penyakit menular tersebut merupakan penyebab utama penderitaan dan kematian
yang banyak terjadi. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus yang dapat
menyebar baik melalui kontak langsung dengan penderita maupun melalui vektor
dari masing-masing penyakit.
Munculnya penyakit epidemik tersebut
mendapat perhatian dari berbagai kalangan, khususnya para ahli di bidang
kedokteran yang mempunyai peranan penting dalam mencegah meluasnya penyebaran
penyakit. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, matematika juga turut berperan
dalam membantu menganalisis dan menentukan strategi pengendalian penyebaran
penyakit. Fenomena-fenomena yang ada dapat dipandang dan dianalisis dalam
bentuk model matematika, artinya peristiwa tersebut dapat direpresentasikan
dalam pernyataan matematika, sehingga diperoleh pemahaman dari fenomena yang
real ini menjadi lebih tepat, seperti halnya kasus endemik Chikungunya.
Chikungunya adalah suatu jenis penyakit
menular yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) yang termasuk dalam
famili Togaviridae, genus Alphavirus. Penyebaran CHIK dapat
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (the yellow fever mosquito).
Aedes albopictus (the Asian tiger mosquito) vektor potensial penyebaran
penyakit chikungunya (Depkes, 2007 : 25).
Chikungunya merupakan penyakit reemerging
yaitu penyakit yang keberadaan sudah ada sejak lama, tetapi kemudian
merebak kembali. Kejadian Luar Biasa (KLB) chikungunya di dunia pertama kali
terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo, tahun 1823 di Zanzibar, 1824 di
India, tahun 1870 di Zanzibar, tahun 1871 di India, tahun 1901 di Hongkong,
Burma, dan Madras, tahun 1973 di Calcuta. Beberapa negara Afrika juga
dilaporkan telah terjangkit chikungunya misalnya Angola, Botswana, Nigeria,
Zimbabwe, dan negara lainnya. Virus diisolasi pertama kali pada tahun 1952 di
Tanganyika ( Balitbangkes Depkes RI,
2005)
Di Indonesia sendiri KLB chikungunya
dilaporkan pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke
seluruh daerah baik di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu
pada tahun 1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan
Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara, dan Irian
Jaya (Balitbangkes Depkes RI, 2005 : 37).
Setelah hampir 20 tahun tidak ada
kejadian chikungunya, maka mulai tahun 2001 mulai dilaporkan adanya KLB
chikungunya lagi di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat,
sedangkan pada tahun 2002 terjadi KLB di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,
Sumatera Selatan, dan Jawa Barat. Dalam kurun waktu 5 tahun (2001-2005),
chikungunya telah menyebar ke 11 propinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada
tahun 2004, dilaporkan 1.266 kasus tanpa kematian di 5 propinsi. Sementara itu,
pada tahun 2005 chikungunya telah dilaporkan di 4 propinsi, dengan 340 kasus
dan tanpa ada laporan kematian (Depkes RI, 2008 : 44).
Kejadian Luar Biasa (KLB) chikungunya di
Jateng pada tahun 2007, yang ditemukan di 85 desa/kelurahan merupakan KLB
dengan frekuensi tertinggi ketiga dengan angka serangan kasus (AR) 0,86% dan
angka kematian kasus (CFR) 0,00%. Kondisi tersebut mengalami peningkatan sangat
tajam dibanding tahun 2006, dimana frekuensi KLB chikungunya terjadi di 4
kabupaten/kota pada 9 kecamatan dengan angka serangan (AR) 0,003% dan angka
kematian kasus (CFR) 0,00% (Dinkes Jateng, 2007).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
(Dinkes) Propinsi Jawa Tengah tahun 2009, ada 17 kabupaten/kota masuk kategori
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit chikungunya, antara lain adalah Kota
Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Grobogan, Kudus, Pekalongan, Kota
Pekalongan, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Purworejo, Kebumen, Sukoharjo,
Boyolali, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri. Dengan
kasus chikungunya paling tinggi terjadi di Kendal (1.412 kasus), disusul
Banyumas (945 kasus), Kebumen (768 kasus), dan Sukoharjo (518 kasus)..Total penderita penyakit chikungunya di
Jawa Tengah (Jateng) tahun 2009 tercatat sebanyak 5.095 orang (Dinkes Jateng,
2009).
Berdasarkan data yang didapat, Provinsi
Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang rawan terjangkit penyakit ini, hal
ini dapat dilihat dari angka kejadian kasus KLB chikungunya yang terjadi dari
tahun ketahun terus meningkat. Dari data kasus KLB Chikungunya di Dinas
Kesehatan provinsi Jawa Tengah, didapat angka kasus kejadian Chikungunya di
Jawa Tengah pada tahun 2007 mencapai angka 20.391 kasus dengan 327 angka
kematian (IR = 6,2 dan CFR = 1,6 %). Hal ini berbeda dibandingan dengan
tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2006 jumlah kasus kejadian hanya 10.924
kasus dengan 220 angka kematian (IR = 3,39 dan CFR = 2,01 %), pada tahun 2005
jumlah kasus kejadian hanya 7.144 kasus dengan 181 angka kematian (IR = 2,17
dan CFR = 2,53 %), pada tahun 2004 jumlah kasus kejadian hanya 9.742 kasus
dengan 169 angka kematian (IR = 3,00 dan CFR = 1,73 %), pada tahun 2003 jumlah
kasus kejadian hanya 8.670 kasus dengan 153 angka kematian (IR = 2,70 dan CFR =
1,76 %). Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa angka kejadian tertinggi
siklus lima tahunan Chikungunya Jawa Tengah terjadi pada tahun 2007 (Dinkes
Prov Jateng, 2006: 75).
Jumlah kasus Chikungunya di Kabupaten Kendal berdasarkan sumber data
kesehatan Dinkes Kabupaten Kendal pada tahun 2008 di Kabupaten Kendal mencapai
903 kasus dengan 23 angka kematian (IR = 9,65 dan CFR = 2,54 %), pada tahun
2007 terjadi kasus 382 kasus dengan 19 angka kematian (IR = 4,13 dan CFR = 4,97
%), pada tahun 2006 terjadi 153 kasus dengan 8 angka kematian (IR = 1,67 dan
CFR = 5,23 %), tahun 2005 terjadi 211 kasus 3 angka kematian (IR = 2,33 dan CFR
= 1,42 %), sedangkan tahun 2004 terjadi 203 kasus dengan 6 angka kematian (IR =
2,26 dan CFR = 2,95 %). Dari data dapat diketahui bahwa angka kasus terbesar
terjadi pada tahun 2008 dengan 903 kasus dengan 23 angka kematian (Dinkes
Kendal, 2008).
Sedangkan dari sumber data kesehatan Dinkes
Kabupaten Kendal tahun 2012 mengenai angka kejadian chikungunya menempatkan
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Patebon
merupakan daerah yang paling banyak temuan kasusnya. Di Kecamatan Patebon
tercatat ada 109 warga dirawat di Puskesmas Patebon II. Sementara, di Patean
ada 138 warga yang dirawat di puskesmas karena serangan chikungunya.
dengan angka kejadian chikungunya pada tahun 2008 sebesar 91 kasus dengan 2
angka kematian (IR = 12,55 dan CFR = 2,1 %), pada tahun 2007 sebesar 32 kasus
dengan 1 angka kematian (IR = 6,52 dan CFR = 3,12 %), pada tahun 2006 sebesar
31 kasus dengan 2 angka kematian (IR = 6,32 dan CFR = 6,45 %), pada tahun 2005
sebesar 12 kasus (IR = 2,45), dan tahun 2004 sebesar 16 kasus (IR = 3,26).
Angka kasus yang terbesar terjadi pada tahun 2008 (Dinkes Kendal, 2012).
Menurut penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Fatmi Yumantini Oktisari (2006) di Depok, chikungunya
dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, kepadatan hunian, umur, pekerjaan,
jenis kelamin, mobilitas, penggunaan obat anti nyamuk, keberadaan jentik
nyamuk, ketersediaan TPA, dan penggunaan kasa nyamuk. Banyak faktor yang
berhubungan dengan kejadian chikungunya. Namun faktor yang berhubungan dengan
kejadian chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon
Kabupaten Kendal belum diketahui dengan pasti. Karena penelitian tentang faktor
yang berhubungan dengan kejadian chikungunya belum pernah dilakukan di wilayah
kerja Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal, maka peneliti ingin
meneliti tentang hubungan antara perilaku kesehatan dengan kejadian
chikungunya.
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua
setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau
masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2004: 12). Dari pengalaman bertahun-tahun
pelaksanaan pendidikan ini, baik di negara maju maupun negara berkembang
mengalami berbagai hambatan dalam rangka pencapaian tujuannya, yakni mewujudkan
perilaku hidup sehat bagi masyarakatnya. hambatan yang paling besar dirasakan
adalah faktor pendukungnya (enabling factor). dari penelitian - penelitianyang
ada terungkap, meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi
tentang kesehatan, namun praktek (practice) tentang kesehatan atau perilaku
hidup sehat masyarakat masih rendah (Soekidjo Notoatmodjo, 2004: 19).
Dari survey pendahuluan yang telah
dilakukan terhadap 30 responden, didapatkan 19 responden (65%) di wilayah kerja
Puskesmas Patebon yang tidak melaksanakan program “PSN” dengan tepat,
dikarenakan kurangnya praktik tentang perilaku kesehatan. Berdasarkan uraian
pada latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil judul “Hubungan antara
Perilaku Kesehatan dengan Kejadian Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Patebon
Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal 2014”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka timbul suatu permasalahan
sebagai berikut :
1.2.1
Rumusaan Masalah Umum
Masalah umum
dalam penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara perilaku kesehatan
dengan kejadian Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Patebon Kecamatan
Petebon Kabupaten Kendal tahun 2014 ?
1.2.2
Rumusan Masalah Khusus
1) Adakah
hubungan antara kebiasaan membersihkan tempat penampungan air dengan kejadian
chikungunya ?
2) Adakah
hubungan antara kebiasaan menutup tempat penampungan air dengan kejadian
chikungunya ?
3) Adakah
hubungan antara kebiasaan menguras tempat penampungan air dengan kejadian chikungunya
?
4) Adakah
hubungan antara kebiasaan mengubur barang-barang bekas dengan kejadian
Chikungunya?
5) Adakah
hubungan antara kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya dengan
kejadian chikungunya?
6) Adakah
hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian chikungunya ?
7) Adakah
hubungan antara kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian chikungunya ?
8) Adakah
hubungan antara kebiasaan memakai lotion anti nyamuk dengan kejadian
chikungunya?
9) Adakah
hubungan antara kebiasaan memakai Repellent pada tempat penampungan air dengan
kejadian chikungunya?
10) Adakah
hubungan antara kebiasaan memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
chikungunya?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku kesehatan
dengan kejadian chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal tahun 2014.
1.3.2
Tujuan Khusus
1) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan membersihkan tempat penampungan air dengan kejadian
chikungunya
2) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan menutup tempat penampungan air dengan kejadian
chikungunya
3) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan menguras tempat penampungan air dengan kejadian
chikungunya
4) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan mengubur barang-barang bekas dengan kejadian
Chikungunya
5) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan membakarnya dengan
kejadian chikungunya
6) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian chikungunya
7) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian chikungunya
8) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan memakai lotion anti nyamuk dengan kejadian
chikungunya
9) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan memakai Repellent pada tempat penampungan air dengan
kejadian chikungunya
10) Mengetahui
hubungan antara kebiasaan memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
chikungunya
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin disampaikan
dalam penelitian ini adalah :
1.4.1
Bagi Puskesmas
Hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pengelola program Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit di Puskesmas Patebon maupun Dinas Kesehatan Kabupaten
Kendal khususnya sebagai pertimbangan dalam penentuan strategi pencegahan dan
pemberantasan virus Chikungunya.
1.4.2
Bagi Masyarakat
Memberikan tambahan
informasi dan wawasan tentang pencegahan dan pemberantasan kejadian chikungunya.
1.4.3
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan
pertimbangan untuk mengembangkan penelitian serupa di tempat lain yang juga
mengalami masalah keshatan yang sama yaitu penyakit chikungunya.
1.4.4
Bagi Peneliti
Mendapatkan
pengalaman yang berharga, menambah wawasan pengetahuan, dan keterampilan dalam
menganalisis permasalahan serta dapat membantu memecahkan masalah tentang
chikungunya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan
Teori
2.1.1
Chikungunya
Chikungunya
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK). Kata chikungunya
berasal dari bahasa Swahili (suku bangsa di Afrika) yang berarti "orang
yang jalannya membungkuk dan menekuk lutut". Gejala klinis yang sering
dialami oleh penderita adalah demam disertai dengan nyeri tulang yang hebat
sehingga penderita tidak mampu bergerak (break-bone fever). Oleh karena
itu, penyakit chikungunya sering disebut sebagai flu tulang. Chikungunya
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti vektor utama dan Aedes
albopictus vektor potensial (Soedarto, 2007 : 151).
2.1.1.1
Etiologi
Virus
chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam famili Togaviridae.
Strain Asia merupakan genotypes yang berbeda dengan yang dari Afrika.
Virus chikungunya disebut juga Arbovirus A chikungunya type, CHIK, CK.
Virus chikungunya masuk keluarga Togaviridae, genus Alphavirus. Virions
mengandung satu molekul single standed RNA. Virus dapat menyerang
manusia dan hewan. Virions dibungkus oleh lipid membrane, pleomorphic,
spherical, dengan diameter 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan
glycoprotein (terdiri dari 2 virus protein membentuk heterodimer).
Nucleocapsids isometric berdiameter 40 nm (Soegeng Soegijanto, 2004 :
57).
2.1.1.2
Vektor
Vektor yang
berperan dalam chikungunya dan DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (the
yellow fever mosquito) dan vektor potensialnya adalah nyamuk Aedes
albopictus (the Asian tiger mosquito) (Depkes RI, 2007).
2.1.1.3
Taksonomi
Secara taksonomi
kedua spesies ini termasuk filum Arthropoda (berkaki buku), kelas Hexapoda
(berkaki enam), ordo Diptera (bersayap dua), subordo Nematocera (antena
filiform, segmen banyak), famili Culicidae (keluarga nyamuk), subfamili Culicinae
(termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini), tribus Culicini
(termasuk generaculex dan Mansonia), genus Aedes (Stegomya),
spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sutaryo, 2004 : 44).
2.1.1.4
Morfologi
Masa pertumbuhan
dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat
dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk
metamorfosis sempurna (holometabola) (Sutaryo, 2004 : 44)
2.1.1.4.1
Telur
Karakteristik telur Aedes berwarna
hitam, berbentuk bulat pancung, mulamula berwarna putih kemudian berubah
menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air untuk
memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi larva di dalam media air. Media
air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah air bersih yang stagnan (tidak
mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (I Wayan Supartha, 2008 :
6).
Telur Aedes dapat bertahan pada
kondisi kering pada waktu dan intensitas yang bervariasi hingga beberapa bulan,
tetapi tetap hidup. Jika tergenang air, beberapa telur mungkin menetas dalam
beberapa menit, sedangkan yang lain mungkin membutuhkan waktu lama terbenam
dalam air, kemudian penetasan berlangsung dalam beberapa hari atau minggu. Bila
kondisi lingkungan tidak menguntungkan, telur-telur mungkin berada dalam status
diapause dan tidak akan menetas hingga periode istirahat berakhir.
Berbagai pencetus, termasuk penurunan kadar oksigen dalam air merubah lama
waktu diapause, dan suhu udara dibutuhkan untuk mengakhiri status ini
(Sutaryo, 2004 : 67).
Telur-telur Aedes dapat
berkembang pada habitat kontainer kecil (lubang pohon, ketiak daun, dan
sebagainya) yang rentan terhadap kekeringan, namun kemampuan telur untuk
bertahan dalam kekeringan jelas menguntungkan. Bertahan dalam kekeringan dan
kemampuan telur Aedes untuk menetas dapat menimbulkan masalah dalam
pengendalian tahap imatur (I Wayan Supartha, 2008)
Gambar
2.1 Telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus
(Sumber : Medical
Entomology, 2002 )
2.1.1.4.2
Larva
Larva Aedes memiliki sifon yang
pendek, dan hanya ada sepasang sisir subvental yang jaraknya tidak lebih dari ¼
bagian dari pangkal sifon. Ciri-ciri tambahan yang membedakan larva Aedes dengan
genus lain adalah sekurangkurangnya ada tiga pasang setae pada sirip ventral,
antena tidak melekat penuh dan tidak ada setae pada sirip ventral, antena tidak
melekat penuh dan tidak ada setae yang besar pada toraks (Sutaryo, 2004 : 68).
Larva Aedes semuanya hidup di air
yang stadiumnya terdiri dari empat instar. Keempat instar itu dapat
diselesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung keadaan lingkungan
seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin perkembangan
larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga
menghambat perkembangan larva. Setelah melewatim stadium instar ke empat larva
berubah menjadi pupa (Sayono, 2008 : 79).
Gambar
2.2 Larva Aedes aegytpi dan Aedes albopictus
(Sumber : Medical
Entomology, 2002)
2.1.1.4.3
Pupa
Stadium pupa atau kepompong merupakan
fase akhir siklus nyamuk dalam lingkungan air. Stadium ini membutuhkan waktu
sekitar 2 hari pada suhu optimum. Fase ini adalah periode waktu tidak makan,
namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas dan sedikit gerak. Pupa biasanya
mengapung pada permukaan air di sudut atau tepi tempat perindukan untuk
keperluan bernafasnya (Sutaryo, 2004 : 68).
Gambar 2.3 Pupa Aedes
aegypti dan Aedes albopictus
(Sumber : Medical
Entomology, 2002 )
2.1.1.4.4
Nyamuk Dewasa
Aedes aegypti bentuk
domestik lebih pucat dan hitam kecoklatan. Distribusi spesies ini terutama di
daerah pantai Afrika dan tersebar luas di daerah Asia Selatan dan daerah
beriklim panas, termasuk Amerika Serikat bagian selatan. Di Afrika, spesies ini
menjadi tidak tergantung pada hujan, berkembang pada tandon air buatan tanpa terpengaruh
musim (Soegeng Segijanto, 2006 : 248).
Aedes albopictus dikenal
sebagai nyamuk harimau Asia serupa dengan Aedes aegytpi, berkembang pada
jenis kontainer yang sama dan juga menularkan virus Chikungunya. Secara luas
tersebar di Asia, khususnya daerah hutan tropis dan subtropis. Telur
ditempatkan di lubang-lubang pohon (Sayono, 2008 : 85).
Tidak semua Aedes dewasa memiliki
pola bentuk toraks yang jelas dengan warna hitam, putih, keperakan, atau
kuning. Pada kaki terdapat cincin hitam dan putih. Aedes aegypti memiliki
ciri khas warna putih keperakan berbentuk lira (lengkung) pada kedua
sisi skutum (punggung), sedangkan pada Aedes albopictus hanya
membentuk sebuah garis lurus. Susunan vena sayap sempit dan hampir seluruhnya
hitam, kecuali bagian pangkal sayap. Seluruh segmen abdomen berwarna
belang hitam putih, membentuk pola tertentu, dan pada betina ujung abdomen membentuk
titik (meruncing) (I Wayan Supartha, 2008 : 9).
Gambar
2.4 Nyamuk Aedes aegytpi dan Aedes albopictus
(Sumber : Stephen L. Dogget,
2003)
2.1.1.5 Siklus
Hidup
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Telur menetas menjadi larva dalam 1-2 hari. Umur larva
7-9 hari, kemudian berubah menjadi pupa. Umur pupa 2-4 hari, lalu menjadi
nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari, nyamuk jantan 3-6 hari (Sutaryo, 2004 :
45).
Antara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus lama siklus hidupnya tidak berbeda jauh. Apabila digambarkan
siklus hidupnya adalah sebagai berikut :
Gambar
2.5 Siklus Hidup Nyamuk Ae. Aegypti dan Ae.albopictus
(Sumber
: Teguh Widiyanto, 2007)
2.1.1.6 Bionomik
Bionomik vektor adalah tempat untuk
berkembang biak (breeding places), kebiasaan menggigit (feeding
habit), tempat untuk beristirahat (resting places), dan jangkauan
terbang (flight range) (Sutaryo, 2004 : 45).
2.1.1.6.1 Breeding Places
Tempat kebiasaan bertelur dari kedua
vektor tersebut agak berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang disenangi
untuk bertelur adalah di Tempat Penampungan Air (TPA) yang jernih dalam rumah
dan yang terlindung dari sinar matahari seperti bak di kamar kecil (WC), bak
mandi, tandon air minum, ember, tempayan, drum, dan sejenisnya. Penampungan ini
biasanya dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Sedangkan Aedes
albopictus lebih senang bertelur pada tempat penampungan air yang berada di
luar rumah seperti kaleng, botol, ban bekas yang dibuang, lubang pohon, lekukan
tanaman, potongan batang bambu, dan buah kelapa yang sudah terbuka. Penampungan
ini bukan dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Hal itu sesuai
dengan sifat Aedes aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk
rumah dan Aedes albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo,
2004 : 47).
2.1.1.6.2
Feeding
Habit
Nyamuk Aedes aegypti bersifat
antropofilik yang berarti lebih menyukai menghisap darah manusia dibandingkan
dengan darah hewan. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus merupakan
penghisap darah yang acak dan lebih zoofagik (WHO, 2005 : 62).
Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif
terbang pada pagi hari yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan sore hari
15.00-17.00. Nyamuk yang aktif menghisap darah adalah yang betina untuk
mendapatkan protein. Protein tersebut digunakan untuk keperluan produksi dan
proses pematangan telur. Tiga hari setelah menghisap darah, nyamuk betina
menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap diletakkan pada media
(Suroso, 2003 : 145).
2.1.1.6.3 Resting Places
Tempat yang disayangi nyamuk untuk
beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab, dan
sedikit angin. Aedes aegypti lebih menyukai tempat yang gelap, lembab,
dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai tempat peristirahatannya,
termasuk di kamar tidur, di kamar mandi, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang
ditemukan di luar rumah, di tanaman, atau tempat terlindung lainnya. Di dalam
ruangan, permukaan istirahat yang disukai nyamuk adalah di bawah perabotan,
benda-benda yang tergantung seperti baju dan tirai, serta dinding. Sementara
nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu hidup
di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman, dan kebun atau kawasan pinggir hutan.
Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun (forest
mosquito) (WHO, 2005 : 63).
2.1.1.6.4
Flight
Range
Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari
tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh
kemampuan terbang nyamuk. Jangkauan terbang (flight range) rata-rata
nyamuk Aedes aegypti adalah sekitar 100 m, tetapi pada keadaan tertentu
nyamuk ini dapat terbang sampai beberapa kilometer dalam usahanya untuk mencari
tempat perindukan untuk meletakkan telurnya. Nyamuk Aedes albopictus jangkauan
terbang berkisar antara 400-600 m (Djoni Djunaedi, 2006 : 13)
2.1.1.7
Penularan
dan Penyebaran Penyakit
Penyebaran
penyakit chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Chikungunya (DBD).
Banyaknya tempat perindukan nyamuk seiring berhubungan dengan peningkatan
kejadian penyakit chikungunya. Saat ini hampir seluruh propinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya KLB chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan
akhir musim hujan. Penyakit chikungunya lebih sering terjadi di daerah sub
urban (Depkes RI, 2008). Penularan chikungunya ditularkan melalui tusukan
nyamuk (Aedes aegypti /Aedes albopictus). Nyamuk dapat menjadi
berpotensi menularkan penyakit bila pernah menusuk penderita chikungunya. Kera
dan beberapa binatang buas lainnya juga dapat sebagai perantara (reservoir)
penyakit ini. Nyamuk yang terinfeksi akan menularkan penyakit bila menusuk
manusia yang sehat. Chikungunya bersifat sporadis, artinya di berbagai tempat
timbul serangan berskala kecil, misalnya mengenai beberapa desa, sehingga
penyebarannya tidak merata (Widoyono, 2008 : 69).
2.1.1.8
Gejala
Klinis
Chikungunya
merupakan infeksi viral akut dengan onset mendadak. Masa inkubasinya berkisar
antara 2-20 hari, namun biasanya 3-7 hari. Manifestasi klinis berlangsung 3-10
hari, yang ditandai dengan demam, nyeri sendi (artralgia), nyeri otot
(mialgia), bercak kemarahan pada kulit, sakit kepala, kejang dan penurunan
kesadaran, infeksi saluran pernafasan, dan gejala lainnya (Anies, 2006 : 75).
2.1.1.8.1
Demam
Demam timbul
mendadak tinggi, biasanya sampai 39 oC - 40 oC, disertai
menggigil intermiten. Fase akut ini menetap selama 2 atau 3 hari.
Temperatur dapat kembali naik selama 1 atau 2 hari sesudah suatu gap selama
4-10 hari, menghasilkan kurva demam pelana kuda (saddle back fever curve)
(Anies, 2006 : 75).
2.1.1.8.2
Nyeri Sendi
Nyeri sendi
biasanya berat, dapat menetap, mengenai banyak sendi (poliartikular),
berpindah-pindah, terutama pada sendi-sendi kecil tangan (metakarpofalangeal),
pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan kaki dengan gejala yang lebih
ringan pada sendi-sendi yang lebih besar. Karena rasa nyeri yang hebat,
penderita seolah sampai tidak dapat berjalan (Anies, 2006 : 75)..
Persendian yang
terkena kadang-kadang menjadi bengkak dan nyeri saat disentuh, akan tetapi
biasanya tanpa disertai efusi. Gejala-gejala akut nyeri sendi umumnya
berlangsung tidak lebih dari 10 hari. Pasien dengan manifestasi artikuler yang
lebih ringan biasanya bebas gejala dalam beberapa minggu, tetapi pada
kasus-kasus yang lebih berat memerlukan waktu beberapa bulan untuk menghilang
seluruhnya. Dalam proporsi yang kecil, kasus nyeri sendi dapat menetap selama
bertahun-tahun dan menyerupai artritis reumatoid. Biasanya keadaan
demikian terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai riwayat sering nyeri
tulang dan otot. Nyeri sendi yang memanjang biasanya tidak dijumpai pada
infeksi dengue. Mialgia generalisata seperti nyeri pada punggung dan
bahu biasa dijumpai. Karena gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal,
ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, maka ada yang menamainya
sebagai demam tulang atau flu tulang (Anies, 2006 : 75).
2.1.1.8.3
Nyeri Otot
Nyeri otot (fibromyalgia)
bisa pada seluruh otot terutama pada otot penyangga berat badan seperti
pada otot bagian leher, daerah bahu, dan anggota gerak. Kadang-kadang terjadi
pembengkakan pada otot sekitar mata kaki atau sekitar pergelangan kaki (achilles)
(Anies, 2006 : 75)..
2.1.1.8.4
Bercak Kemerahan pada Kulit
Kemerahan pada
kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulopopular (viral rash),
sentrifugal (mengarah ke bagian anggota gerak, telapak tangan dan telapak
kaki). Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam. Lokasi kemerahan
biasanya pada daerah muka, badan, tangan, dan kaki (Anies, 2006 : 75)..
2.1.1.8.5
Sakit Kepala
Keluhan sakit
kepala merupakan keluhan yang sering ditemui. Biasanya sakit kepala tidak
terlalu berat (Anies, 2006 : 75)..
2.1.1.8.6
Kejang dan Penurunan Kesadaran
Kejang biasanya
pada anak karena panas yang terlalu tinggi jadi bukan secara langsung oleh
penyakitnya. Kadang-kadang kejang disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan
cairan spinal (cerebro spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia dan
jumlah sel (Anies, 2006 : 75)..
2.1.1.8.7
Infeksi Saluran Pernapasan
Gejala infeksi saluran pernafasan bagian
atas juga bisa dijumpai (Anies, 2006 : 75).
2.1.1.8.8
Gejala Lain
Gejala lain yang
kadang-kadang dapat ditemui adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian
leher dan kolaps pembuluh darah kapiler (Eppy, 2010 : 5).
2.1.1.9
Diagnosis
Pasti dan Banding
Diagnosis
chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam, nyeri sendi,
nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia, serta
daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena chikungunya. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati
servikal, dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa
penderita mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit
dapat menurun sedang dan laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein
positif pada kasus-kasus akut (Eppy, 2010 : 8).
Berbagai
pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan diagnosis, seperti
isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan aglutinasi/HI,
complement fixation/CF, dan serum netralisasi; tes serologi modern dengan
teknik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay);
teknik super modern dengan pemeriksaan PCR; serta teknik yang paling baru
dengan RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat tergantung
pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya pada serum
yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF, ataupun
netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang diambil
saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang akurat
dapat diperoleh dari serum yang sudah diambil sesudah sakit dengan metode IgM capture
ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikkan serum akut dari kasus
tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti adanya infeksi
virus chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal berikut:
1)
Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat
pada uji hambatan aglutinasi (HI)
2)
Virus chikungunya (CHIK) pada isolasi
virus
IgM capture ELISA
(Eppy, 2010 : 8).
Viral
arthropaty dapat diketahui dan dijumpai pada
beberapa infeksi virus, seperti dengue, Mayora (Mayora fever,
Uruma fever), Ross River, Sindbiss (Ockelbo), Baermah
forest, dan O`nyong-nyong, serta penyakit virus lainnya (penyakit pogosta,
demam karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis banding dari
penyakit chikungunya. Diagnosis banding penyakit chikungunya yang paling
mendekati adalah demam dengue atau chikungunya (Soegeng Sogijanto, 2004
: 62).
2.1.1.10
Prognosis
Prognosis
penderita chikungunya cukup baik, sebab penyakit ini tidak menimbulkan
kematian. Belum ada penelitian yang secara jelas memperlihatkan bahwa
chikungunya dapat secara langsung menyebabkan kematian. Brighton meneliti pada
107 kasus infeksi virus chikungunya, 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami
kekakuan sendi atau mild discomfort, 2,8 % mempunyai persisten
residual joint stiffness tetapi tidak nyeri, dan 5,6 % mempunyai keluhan
sendi yang persisten, kaku, dan sering mengalami efusi sendi (Suharto, 2007).
Dalam beberapa
hal isolasi virus chikungunya baru diperoleh pada kasus – kasus yang berat yang
menunjukkan manifestasi perdarahan, kelainan neurologis, dan kelainan otot
jantung. Mereka ini umumnya penderita chikungunya dewasa. Kegiatan olahraga dapat
memperburuk gejala klinis seperti nyeri sendi terutama pada pagi hari. Sendi
lutut dapat membengkak begitu juga sendi pergelangan tangan dan jari (Soegeng
Soegijanto, 2004 : 63).
Infeksi virus
chikungunya baik klinis ataupun silent akan memberikan imunitas seumur
hidup, maka penyakit ini sulit menyerang penderita yang sama. Tubuh penderita
akan membentuk antibodi yang akan membuatnya kebal terhadap serangan virus ini
di kemudian hari. Dengan demikian, kecil kemungkinannya untuk terkena lagi.
Imunitas yang terbentuk dapat bertahan dalam jangka waktu lama, hingga dua
puluh tahunan. Sesudah kejadian luar biasa (KLB), mulai dari anak-anak sampai
orang tua seperti sudah terimunisasi. Baru generasi berikutnya, dua puluh tahun
kemudian, tidak imun lagi (Eppy, 2010 :11).
2.1.1.11
Pengobatan
Chikungunya pada
dasarnya self limiting disease, artinya dapat sembuh dengan sendirinya.
Tidak ada vaksin maupun obat khusus untuk chikungunya. Oleh sebab itu,
pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis).
Obat-obatan yang dapat digunakan adalah obat antipiretik, analgetik
(non-aspirin analgetik; non steroid anti inflamasi drug parasetamol,
antalgin, natrium diklofenak, piroksikam, ibuprofen, obat anti mual dan muntah
: dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus dihindari.
Terapi lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan (Sudarto dkk, 2007 : 155).
Bagi penderita
sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama
protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak konsumsi buah-buahan segar,
sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin peningkat daya tahan tubuh juga
bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin, makanan yang
mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh.
Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa membuat rasa ngilu pada
persendian cepat hilang. Minum banyak air putih juga disarankan untuk
menghilangkan gejala demam (Anies, 2005 : 102).
2.1.1.12
Tindakan
Pencegahan
Mengingat nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus adalah vektor penular virus chikungunya
dan virus dengue (DBD), maka upaya pencegahan chikungunya hampir sama
dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Pencegahan dititikberatkan pada
pemberantasan nyamuk penular dapat dilakukan terhadap jentiknya atau nyamuk
dewasa (Widoyono, 2008 : 70).
2.1.1.13
Pemberantasan
Jentik
Pemberantasan jentik nyamuk yang dikenal
dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN), dilakukan dengan cara :
2.1.1.13.1 Kimiawi
Larvasidasi
adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida. Terdapat 2 jenis
larvasidasi (insektisida) yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk
menampung air bersih (TPA) yakni :
1) Temephos
1%.
Formulasi
yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan
adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1 sdm rata) untuk tiap 100 l air. Dosis ini telah
terbukti efektif selama 8-12 minggu (2-3 bulan).
2) Insect
Growth Regulators (Pengatur Pertumbuhan Serangga)
Insect
Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan
nyamuk di masa sebelum dewasa dengan menghambat proses chitin synthesis selama
masa jentik berganti atau mengacaukan proses perubahan pupa menjadi nyamuk
dewasa. Contoh IGRs adalah methroprene dan phyriproiphene. Secara
umum IGRs akan memberikan efek ketahanan 3-6 bulan dengan dosis yang cukup
rendah bila digunakan di dalam tempat penampungan air. (Eppy, 2010 : 8).
2.1.1.13.2 Biologi
Penerapan pengendalian biologi yang
ditujukan terhadap jentik hanya terbatas pada operasi berskala kecil.
Pengendalian dengan cara ini misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik
atau dengan bakteri. Ikan yang biasanya dipakai adalah Larvavorus (gambusia,
affins, poecilia reticulate, dan ikan adu), sedang bakteri yang
dinilai efektif untuk mengendalikan ada dua spesies yakni bakteri endotoksin
yang memproduksi Baccilus thuringiensis serotipe H-14 dan Baccilus
sphaericus (Bs) (Eppy, 2010 : 8).
2.1.1.13.3 Fisik
Cara
ini dikenal dengan kegiatan 3M (menguras, menutup, dan mengubur) yaitu menguras
bak mandi, bak WC, menutup Tempat Penampungan Air (TPA) serta mengubur barang
bekas seperti (ban, botol, kaleng bekas, dll). Pengurasa Tempat Penampungan Air
(TPA) perlu dilakukan secara terus menerus sekurangkurangnya seminggu satu kali
agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut (Eppy, 2010 : 8).
.
2.1.1.14
Pemberantasan
Nyamuk
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa
dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan = fogging) dengan
insektisida. Insektisida yang dapat digunakan ialah insektisida golongan :
- Organophospate, misalnya malathion,
fenitrothio
-
Pyretroid sintetic, misalnya lamda, sihalotrin,
permetri
-
Carbamat (Eppy, 2010 : 8).
Alat
yang digunakan untuk penyemprotan ialah mesin fogg atau mesin ULV
(Depkes RI, 2005).
Selain itu, juga perlu dilakukan upaya dengan cara
lain, seperti :
1.
Membersihkan halaman atau kebun di
sekitar rumah.
2.
Membersihkan saluran dan talang air yang
tidak lancar atau rusak.
3.
Membuka pintu dan jendela rumah setiap
pagi hari sampai sore, agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk,
sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian,
tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk.
4.
Memakai pakaian pelindung dari gigitan
nyamuk Aedes dapat merupakan alternatif penting dalam memutus kontak
antara nyamuk dewasa dengan manusia. Pakaian tersebut cukup tebal atau longgar
berlengan panjang dan celana panjang dengan kaos kaki dapat melindungi tangan
dan kaki dari tusukan nyamuk karena merupakan bagian tubuh yang rawan.
5.
Memakai repellent
Repellent
atau
penolak serangga merupakan sarana pelindung diri terhadap nyamuk dan serangga
yang umumnya digunakan. Bahan ini secara garis besar dibagi menjadi 2 kategori
yaitu penolak alami dan penolak kimiawi. Minyak esensial dan ekstrak tanaman
merupakan bahan pokok penolak alami, misalnya minyak neem (pada kayu mahoni).
Penolak kimiawi misalnya DEET (N,N-Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan
perlindungan terhadap nyamuk Aedes aegytpi dan Aedes albopictus. Repellent
dioleskan seperlunya pada bagian tubuh yang terbuka.
6.
Menghindari kebiasaan menggantung
pakaian.
Kebiasaan meletakkan pakaian
digantungkan yang terbuka, misalnya di belakang pintu kamar. Melipat pakaian
atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap pada pakaian
tersebut.
7.
Tidur siang dengan menggunakan kelambu
Kebiasaan orang tidur pada siang hari
akan mempermudah penyebaran penyakit chikungunya, karena nyamuk betina mencari
umpannya pada siang hari (Anies, 2006 : 76).
2.1.1.15
Faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Chikungunya
Menurut teori
Hendrik L. Blum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik
kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat
yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo,
2007 : 166).
Gambar
2.6 Teori HL. Blum
(Sumber
: Soekidjo Notoatmodjo, 2005)
2.1.1.15.1
Genetik
Menurut Yuli Kusumawati (2003:16),
genetik adalah faktor-faktor yang diturunkan secara alamiah orang tua pada anaknya.
Keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Selama ini belum pernah ada penelitian
yang spesifik meneliti tentang faktor penyakit chikungunya yang disebabkan oleh
keturunan.
2.1.1.15.2
Lingkungan
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan. Lingkungan adalah himpunan
dari semua kondisi luar yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada
suatu organisme, perilaku manusia, dan kelompok masyarakat. Lingkungan memegang
peranan yang sangat penting dalam menyebabkan penyakit-penyakit menular.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus chikungunya. Secara
umum lingkungan dibedakan menjadi 3, yaitu : lingkungan fisik, lingkungan
biologik, dan lingkungan sosial (Budioro, 2001 : 39).
2.1.1.15.2.1
Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan
sekeliling manusia yang terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non
living things) dan kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini
lingkungan fisik dapat menjadi enviromental reservoir dan ikut berperan
menentukan pola populasi nyamuk (Budioro, 2001 : 40).
2.1.1.15.2.1.1 Keadaan
Tempat Penampungan Air ( TPA )
Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak
(perindukan) ditempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang
lain yang memungkinkan air tergenang yang tidak beralaskan tanah, misalnya :
a)
Tempat Penampungan Air (TPA) untuk
kebutuhan sehari-hari, misalnya bak mandi atau WC, tempayan, ember, drum, dan
lain-lain.
b)
Bukan Tempat Penampungan Air (non TPA),
yaitu tempat atau barang-barang yang memungkinkan air tergenang, seperti :
tempat minum burung, vas bunga atau pot tanaman air, kontainer bekas seperti :
kaleng bekas dan ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain
yang dibuang di sembarang tempat.
c)
Tempat penampungan alami, seperti :
lubang potongan bambu, lubang batang, lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon kulit pisang (Depkes RI, 2007 :
10).
2.1.1.15.2.1.2 Suhu
Udara
Virus chikungunya hampir sama dengan
virus dengue yaitu hanya endemik di daerah tropis dimana suhu
memungkinkan untuk perkembangbiakan nyamuk. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk
adalah 25°C – 27°C (Suroso, 2003).
2.1.1.15.2.1.3 Kelembaban
Udara
Angka kelembaban di Indonesia bisa
mencapai 85%. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan negara kepulauan yang
lautannya lebih luas daripada daratan, sehingga udara lebih banyak mengandung
air. Rata-rata kelembaban untuk pertumbuhan nyamuk adalah 65-90% (Santoso. L,
1999).
2.1.1.15.2.1.4 Pencahayaan
Cahaya merupakan faktor utama yang
mempengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang
rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk
intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang
nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux
(Budiyono, 2006).
2.1.1.15.2.1.5 Curah
Hujan
Hujan berpengaruh terhadap kelembaban
nisbi. Kelembaban udara naik akan menambah genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk (Suroso, 2003).
2.1.1.15.2.1.6 Kecepatan
Angin
Kecepatan angin secara tidak langsung
berpengaruh pada kelembaban dan suhu udara. Disamping itu angin berepengaruh
terhadap penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11-10 meter atau 25-31
mil/jam akan menghambat penerbangan nyamuk (Suroso, 2003).
2.1.1.15.2.1.7 Ketinggian
Tempat
Nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat hidup pada daerah
dengan
ketinggian 1.000 meter di atas permukaan air laut (Suroso, 2003).
2.1.1.15.2.2Lingkungan Biologi
Lingkungan biologik yang mempengaruhi
kepadatan nyamuk adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang
mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan dalam rumah dan halaman. Bila banyak
tanaman hias dan tanaman pekarangan, maka menambah tempat yang disenangi nyamuk
untuk hinggap berisitirahat dan menambah umur nyamuk (Cut Irsanya Nilam Sari,
2005 : 10).
2.1.1.15.2.3Lingkungan
Sosial
Lingkungan sosial adalah lingkungan yang
mencakup hubungan yang kompleks antara faktor-faktor dan kondisi-kondisi
budaya, sistem nilai, adat istiadat, kepercayaan, agama, pendidikan, pekerjaan,
dan sebagainya (Budioro, 2001 : 41).
2.1.1.15.3
Perilaku
Menurut Skinner (1938) yang dikutip oleh
Soekidjo Notoatmodjo (2005 : 132), perilaku merupakan hasil hubungan antara
perangsang (stimulus) dan tantangan dan respons. Ada beberapa faktor
perilaku yang berhubungan dengan kejadian chikungunya adalah sebagai berikut :
2.1.1.15.3.1
Kebiasaan Menguras Tempat Penampungan Air ( TPA )
Menguras bak mandi atau tempat
penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Kebiasaan menguras seminggu
sekali baik dilakukan untuk mencegah tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti (Depkes
RI, 2005).
2.1.1.15.3.2Kebiasaan
Menutup Tempat Penampungan Air ( TPA )
Kebiasaan
menutup tempat penampungan air berkaitan dengan peluang nyamuk Aedes aegytpi
untuk hinggap dan menempatkan telur-telurnya. Pada TPA yang selalu ditutup
rapat, peluang nyamuk untuk bertelur menjadi sangat kecil sehingga mempengaruhi
keberadaannya di TPA tersebut (Depkes RI, 2005).
2.1.1.15.3.3Kebiasaan
Mengubur Barang Bekas
Tempat
perkembangbiakan nyamuk selain di tempat penampungan air juga pada barang bekas
yang memungkinkan air hujan tergenang yang tidak beralaskan tanah, seperti
kaleng bekas, ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang
dibuang sembarangan tempat (Depkes RI, 2007 : 10).
2.1.1.15.3.4Kebiasaan
Menggantung Pakaian
Survei dilakukan dengan menanyakan
tentang kebiasaan menggantung responden serta mengamati pakaian yang
menggantung pada pakaian kepada responden serta mengamati pakaian yang
menggantung pada dinding (ruangan) yang merupakan tempat yang disenangi nyamuk Aedes
aegypti untuk berisitrahat, dan pada saatnya akan menghisap darah manusia
kembali sampai nyamuk tersebut cukup darah untuk pematangan sel telurnya
(Dinkes Kota Tegal, 2004 : 15).
2.1.1.15.3.5Kebiasaan
Tidur Siang
Kebiasaan orang tidur pada siang hari
akan mempermudah penyebaran penyakit chikungunya, karena nyamuk betina mencari
umpannya pada siang hari. Aktivitas menggigit nyamuk biasanya mulai pagi sampai
sore hari, dengan dua puncak aktivitas antara pukul 08.00-10.00 dan 15.00-17.00
(Dinkes, 2004 : 16).
2.1.1.15.4
Pelayanan Kesehatan
Secara umum pelayanan kesehatan
masyarakat merupakan sub pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan), promotif (peningkatan
kesehatan), dan pelayanan kuratif (pengobatan) untuk meningkatkan
derajat kesehatan dengan sasaran masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 101).
Ada
3 bentuk pelayanan kesehatan, yaitu :
2.1.1.15.4.1Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama ( Primary Health Care )
Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan
untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan
kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Pelayanan kesehatan yang diperlukan
oleh kelompok ini bersifat pelayanan kesehatan dasar (basic health
services), atau juga merupakan pelayanan kesehatan primer atau utama (primary
health care). Bentuk pelayanan ini di Indonesia adalah puskesmas, puskesmas
pembantu, puskesmas keliling, dan balkesmas.
2.1.1.15.4.2Pelayanan
Kesehatan Tingkat Keduan ( Secondary Health Care )
Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan
oleh kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan menginap, yang sudah tidak
dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan tingkat pertama. Bentuk pelayanan ini
misalnya rumah sakit tipe C dan D, dan memerlukan tenaga spesialis.
2.1.1.15.4.3Pelayanan
Kesehatan Tingkat Ketiga (Tertiery Health Care )
Pelayanan kesehatan ini diperlukan oleh
kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani pelayanan
kesehatan tingkat kedua. Pelayanan sudah komplek dan memerlukan tenaga super
spesialis, misalnya rumah sakit tipe A dan B.
2.1.1.16
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penularan Chikungunya
Beberapa faktor saling pengaruh dan
mempengaruhi yang pada akhirnya menentukan bentuk perilaku terhadap penyakit Chikungunya
adalah sebagai berikut:
2.1.1.16.1
Pendidikan
Menurut Surya, Muhammad (2004),
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat (Budioro, 2001 : 40).
Menurut teori konsep keperawatan Betty
neuman (1995) dari delapan subsistem yang mempengaruhi komintas adalah
Pendidikan komunitas. Apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan penduduk (Budioro, 2001 : 40).
Pada penelitian sebelumnya oleh Oktisari
(2006) menunjukan OR (Odds Ratio) faktor pendidikan 1,9:1,22-3,23,
sedangkan pada penelitian Purnomo (2003) menunjukan 57,5% penderitanya adalah
tamatan SD.
2.1.1.16.2
Status Ekonomi
Menurut Alam (2006), Ekonomi merupakan
salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Keadaan
sosial rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan
karena ketidakmampuan dalam mengatasi masalah kesehatan. Masalah kemiskinan
akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi,
pemukiman dan lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah menumbuhkan penyakit
Chikungunya. Disini sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, lingkungan
rumah dan sanitasi rumah yang buruk dan dapat memudahkan penularan penyakit Chikungunya(Notoatmojo,
2006).
Dalam konsep teori keperawatan menurut
Betty Neuman (1995) dijelaskan Bagaimana tingkat sosial ekonomi masyarakat
secara keseluruhan , apakah pendapatan yang diterima sesuai dengan kebijakan
upah minimum regional (UMR) atau malah sebaliknya dibawah upah minimum. Hal ini
terkait dengan upaya pelayanan kesehatan ditunjukan pada anjuran untuk
mengkonsumsi jenis makanan sesuai kemampuan status ekonomi masing-masing.
2.1.1.16.3
Mobilitas Penduduk
Sikap merupakan reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara
nyata menunjukkan korelasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial yang dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau
positif dan negatif. Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam
perilaku kesehatannya yang kemudian diasumsikan bahwa ada hubungan langsung
antara sikap dan perilaku seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 1997: 131). Kalau
rajin dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah kan mengurangi
risiko menderita penyakit Chikungunya (Depkes RI, 2002: 2).
Begitu pula sebaliknya jika ada orang
yang datang ke daerah endemi Chikungunya dan digigit nyamuk penyebab Chikungunya
disana dan terkena Chikungunya, ketika kembali ke daerah asal dia akan menularkan
penyakit ini jika dia digigit oleh nyamuk penyebarannya, dan nyamuknya
menggigit orang lain. Mobilitas Penduduk dalam konsep Betty Neuman (1995)
dijelaskan bahwa jika manusia bepergian kemana saja terutama daerah endemi Chikungunya,
akan berpontensi terkena penyakit Chikungunya.
2.1.1.16.4
Partisipasi Masyarakat
Menurut Karim (1985) partisipasi adalah
keikutsertaan, dan masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah
sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah
antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Jadi partisipasi
masyarakat adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembangunan. Mengingat
penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik
untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut,
sebagaimana sering disarankan dalam pemberantasan penyakit Chikungunya.
Disinilah diperlukan peran serta masyarakat untuk membrantas sarang nyamuk(Azizah,
2010).
Konsep Betty Neuman (1995) menerangkan
bahwa bagaimana keaktifan masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk di
lingkungan mereka akan mempengaruhi subsitem komunitas. Sehingga akan
memudahkan penularan jika partisipasi masyarakat kurang aktif.
2.1.1.16.5
Kepadatan Hunian
Menurut Tantawy (2001), padat adalah
sangat penuh. Sehingga kepadatan hunian berarti hunian atau rumah masyarakat
sangat penuh baik dari jarak antar hunian maupun populasi masyarakat itu.
Menurut Sanropie, (1995) jarak rumah
yang ideal adalah 3 m atau kepadatan rumah per hektar yang diijinkan adalah
maksimum 50/ha dan minimum 20/ha. Antonius (2005) yang menyatakan bahwa daerah
yang terjangkit Chikungunya pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat
penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini,
mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter.
Hubungan yang baik antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ini ke daerah
lain. Dalam Betty Neuman (1995) menerangkan perumahan yang dihuni penduduk,
dihitung dari kepadatan hunian yang dapat menyebabkan terkena penyakit
Chikungunya, sesuai dengan jarak
terbang maksimal nyamuk Aedes aegypti 200 m.
2.1.1.16.6
Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan(Notoatmojo, 2003).
1)
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2) Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu
kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah dapat diketahui,
dan dapat mengintepresetasikan objek tersebut secara benar.
3) Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada stuasi atau kondisi
sebenarnya.
4) Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya antara satu dengan yang
lain.
5) Sintesis
Sintesis menunjukan pada suatu kemampuan
untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan
untuk melakukan partisipasi atau penilaian terhadap suatu materi obyek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket atau
kuisioner yang menyatakan tentang suatu materi ingin diukur dengan subjek
penelitian atau responden. Pengukuran atau penilaian pengetahuan menurut
Notoatmojo (2003) dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) yaitu :
a.
Pengetahuan baik : 75-100% menjawab
benar seluruh pertanyaan.
b.
Pengetahuan cukup baik : 51-75% menjawab
benar seluruh pertanyaan.
c.
Pengetahuan Kurang baik : 26-50%
menjawab benar seluruh pertanyaan.
d.
Pengetahuan tidak baik : 0-25% menjawab
benar seluruh pertanyaan.
2.1.1.16.7
Usia
Menurut Tantawy (2001) usia adalah lama
waktu hidup seseorang atau ada sejak orang itu dilahirkan. Usia seseorang
menentukan perilaku kesehatan seseorang, kita tidak bisa menyamakan tingkat
perilaku kesehatan anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Beberapa penyakit
juga berkaitan atau cenderung diderita seseorang dengan usia
tertentu(Notoatmojo, 2005). Nyamuk Aedes aegypti kerap menyerang
anak-anak karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas selama pagi hingga
siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk
nyamuk jenis ini (WHO, 2008).
Pada penelitian sebelumnya oleh Oktisari
(2006) menunjukan odds ratio faktor usia 2,1: 1,22-3,46, sedangkan oleh
Heriyanto usia yang sering terkena Chikungunya antara 30- 40 tahun, pada penelitian
Hendro (2003) didapatkan hasil usia yang paling sering terkena antara 10-49
tahun yaitu sebesar 82% dari kasus yang diteliti, dan pada penelitian Purnomo golongan
usia yang sering terkena antara 26-35 tahun dengan AR=4,91%.. Pertahana
terhadap Chikungunya menurut paradigma Neuman (1995) membutuhkan suatu jenis
garis pertahanan(garis pertahanan, fleksibel dan garis resistensi) garis normal
pertahanan menggambarkan keseimbangan dari waktu ke waktu. Ini dipertimbangkan menjadi
level keseimbangan yang biasa bagi sistem tersebut atau bagian kondisi
baik/sehat yang normal dan digunakan sebagai pangkal atau garis dasar untuk
menetapkan penyimpangan dari kondisi baik atau sehat untuk sistem klien.
Keseimbangan/kestabilan digambarkan dengan garis normal pertahanan yang
sebenarnya merupakan serangkaian respon terhadap lingkungannya.
Menurut Neuman (1995) lingkungan adalah
seluruh faktor atau pengaruh dalam maupun luar yang mengelilingi klien.
Pengaruh klien pada lingkungan dan lingkungan pada klien kapanpun bisa positif
maupun negatif. Variasi dalam sistem klien dan lingkungannya dalam sistem klien
dan lingkunganya dapat mempengaruhi perintah dari reaksinya. Lingkungan dalam
(internal) ada di dalam sistem klien. Semua kekuatan dan pengaruhpengaruh interaktif
semata-mata ada didalam batasan-batasan sistem klien yang membangun lingkungan
tersebut. Lingkungan luar (external) ada diluar sistem klien. Semua kekuatan
dan pengaruh-pengaruh interaktif yang ada diluar batasan-batasn sistem tersebut
diidentifikasi sebagai lingkungan luar (external).
Menurut Neuman (1995), mengidentifikasi
lingkungan ketiga; lingkungan yang dibuat, Lingkungan buatan atau yang
dibuat dikembangkan secara tidak sadar oleh klien dan secara simbolik dari
sistem wholeness. Hal ini menggambarkan perubahan sistem terbuka dari
energi dengan lingkungan dalan maupun luar. Pertukaran ini dinamis dan
menggambarkan gerakan yang tidak sadar dari semua variabel sistem tapi
khususnya variabel psikologi dan sosiokultural.
Tujuan dari gerakan ini adalah penggabungan,
keutuhan, dan keseimbangan sistem. Karena ini disajikan sebagai sebuah penyekat
atau insulator, lingkungan buatan atau yang dibuat bisa merubah respon sisten
klien terhadap tekanan. Tujuan utama dari lingkungan yang dibuat adalah untuk
menyediakan sebuah stimulus atau rangsangan positif terhadap kesehatan bagi
kliennya.
Lingkungan buatan atau yang dibuat
dikembangkan untuk melindungi tetapi bisa memiliki efek negatif pada sistem
tersebut jika lingkungan buatan tersebut menggunakan energi yang dibutuhkan
untuk bereaksi terhadap tekanan-tekanan lingkungan. Untuk menilai lingkungan
buatan, pemberi perawatan perlu mengidentifikasi tiga aspek yaitu lingkungan
apa yang di bentuk dam sifatnya, penggunaan lingkungan dan nilai-nilai
lingkungan yang di bentuk, perlindungan yang di buat.
Garis fleksibel pertahanan diwakili
dalam model diagram sebagai batasan terluar dan tanda respon, atau
perlindungan, dari sistem tersebut terhadap tekanan-tekanan. Garis fleksibel
pertahanan meyediakan sebuah bantalan dan di gambarkan sebagai harmonika. Hal
ini melindungi garis normal pertahanan dan bertindak sebagai sebuah penahan
bagi bagian sistem klien yang biasa stabil/seimbang.
Tekanan-tekanan sebagai stimuli atau
perangsang yang memproduksi keterangan dan memiliki potensi untuk menyebabkan
sistem tidak seimbang. Sistem tersebut mungkin perlu menyesuaikan diri dengan
satu atau lebih tekanan yang kapanpun diberikan. Tekanan diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu tekanan interpersonal, yaitu tekanan yang terjadi di
luar batasan sistem klien, yang terdekat dengan sistem dan memiliki akibat pada
sistem. Tekanan Intrapersonal terjadi didalam batasan sistem klien dan
berhubungan dengan lingkungan dalam. Tekanan extrapersonal juga terjadi
di luar batasan sistem tetapi ada pada jarak yang lebih besar dari sistem dari
pada tekanan interpesonal. Tekanan interpersonal dan extrapersonal berhubungan
dengan lingkungan luar (Neuman, 1995).
Menurut Neuman (1995), pencegahan dibagi
menjadi tiga. Pencegahan pertama terjadi sebelum sistem bereaksi terhadap
sebuah tekanan, ini mencakup promosi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.
Pencegahan pertama fokus pada memperkuat garis fleksibel pertahanan melalui
pencegahan tekanan dan mengurangi faktor-faktor risiko. Pencegahan kedua
terjadi setelah sistem tersebut bereaksi terhadap tekanan dan tersedia di dalam
istilah adanya gejala-gejala. Pencegahan ketiga terjadi setelah sistem tersebut
dilatih melalui strategi pencegahan kedua. Tujuannya adalah untuk memelihara
kondisi sehat atau melindungi penyusunan sistem klien melalui dukungan kekuatan
yang ada dan selanjutnya menghemat energi.
2.1.1.16.8
Sosial Budaya
Lingkungan sosial dan budaya merupakan
lingkungan yang bersifat dinamis dan cukup pelik. Suatu lingkungan sosial
sosial tertentu tidak begitu saja memberi pengaruh yang sama kepada semua
orang. Kebiasaaan sosial mungkin akan memberikan pengaruh terhadap kesehatan
(Mukono, 2000: 12)
2.1.1.16.9
Suku Bangsa
Tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya
masing-masing sehingga hal ini juga mempengaruhi penularan DBD.
2.1.1.16.10
Daya tahan Tubuh (Imunitas)
Daya tahan tubuh adalah sistem
pertahanan tubuh dari benda asing yang masuk dalam tubuh baik itu virus ataupun
bakteri. Makin kuatnya daya tahan tubuh seseorang dapat menghambat perkembangan
virus DBD dalam tubuh. (Depkes RI, 2002: 2)
2.1.2
Perilaku
Kesehataan
Perilaku
kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau
obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan minuman, serta lingkungan (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 117).
Perilaku sehat
adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah
resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit (Depkes RI,
2002: 3).
Seorang ahli
kesehatan Becker (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 118) mengklasifikasikan perilaku
kesehatan yaitu :
1)
Perilaku hidup sehat
Perilaku hidup sehat adalah
perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
2)
Perilaku sakit (illness behavior)
Perilaku sakit ini mencakup respons
seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan
tentang: penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya.
3)
Perilaku peran sakit (the sick role
behavior)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien)
mempunyai peran yang mencakup semua hak-hak orang sakit (right) dan
kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus
diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarga) yang
selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku
ini meliputi:
1.
Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
2.
Mengenal/mengetahui fasilitas atau
sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak.
Mengetahui
hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan
sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang
lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain, dan sebagainya).
Perilaku
kesehatan yang mempengaruhi penyakit chikungunya adalah:
a)
Membersihkan tempat penampungan air
seminggu sekali
Seperti
air di vas bunga, air tempat minum burung.
b)
Menutup rapat-rapat tempat penampungan
air
Seperti
tempayan, bak mandi, dan tempat penempungan air bersih yang memungkinkan tempat
berkembang biak nyamuk, hendaknya ditutup rapat-rapat.
c)
Menguras tempat penampungan air
sekurang-kurangnya 1 minggu sekali
Seperti
bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air bersih, hendaknya dikuras
maksimal 1 minggu sekali.
d)
Mengubur Barang-barang bekas bekas
Barang-barang
yang memungkinkan air tergenang seperti ban bekas, kaleng-kaleng bekas, plastik
bekas, tempurung kelapa (Depkes RI, 1995: 15).
e)
Membuang sampah pada tempatnya atau
membakarnya
Seperti
plastik bekas air mineral, potongan bambu, tempurung kelapa dan lain-lain, yang
dapat menampung air hujan hendaknya dibuang di tempat sampah dan segeralah
membakarnya.
f)
Menggantung pakaian
Faktor
risiko tertular penyakit chikungunya adalah rumah atau lingkungan dengan baju
atau pakaian bergantungan yang disukai nyamuk untuk beristirahat (Dinkes
Jateng, 2004: 5).
g)
Memakai kelambu
Orang
yang tinggal di daerah endemis dan sedang wabah chikungunya sebaiknya waktu
tidur memakai kelambu. Terutama waktu tidur siang hari, karena nyamuk Aedes
aegypti menggigit pada siang hari
h)
Memakai lotion anti nyamuk
Pada
waktu tidur lengan dan kaki dibaluri minyak sereh atau minyak anti nyamuk agar
terhindar dari gigitan nyamuk Aedes aegypti (Handrawan Nadesul,1998:
32).
i)
Menaburkan bubuk repellent
Satu
sendok makan (± 10 gram) untuk 100 liter air (Depkes RI, 1995: 16). Obat repellent
ini mirip dengan garam dapur. Bubuk repellent
ditaburkan ke dalam wadah-wadah air di
dalam rumah. Setelah ditaburkan obat ini kan membuat lapisan pada dinding wadah
yang ditaburi obat ini. Lapisan ini bertahan sampai beberapa bulan kalau tidak
disikat (Handrawan Nadesul, 1998: 29).
j)
Memelihara ikan pemakan jentik
Misalnya
memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan
cupang/tempalo dan lain-lain) (Depkes RI, 2005: 14).
2.2
Kerangka
Teori
Determinan
Jauh Determinan
Antara Determinan Dekat
Sumber
( Modifikasi : Modifikasi Handrawan Nadesul (1998), Budioro (2001), Dinkes
Jateng (2004), Depkes RI (2007), Soekidjo Notoatmodjo (2007) )
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka
Konsep
Kerangka
konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap
konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:
43). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
|
|
|
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.2
Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan obyek
penelitian atau apa saja yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian. Adapun
variabel penelitian yang diteliti dalam penelitan ini adalah :
3.2.1
Variabel
bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah kebiasaan membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat
penampungan air, menguras tempat penampungan air, mengubur barang-barang bekas,
dan membuang sampah pada tempatnya atau membakarnya, kebiasaan menggantung
pakaian, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai lotion anti
nyamuk, kebiasaan menabur bubuk Repellent pada tempat penampungan air, dan
kebiasaan memelihara ikan pemakan jentik.
3.2.2
Variabel
Terikat
Variabel terikat adalah
variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel Bebas. Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah kejadian chikungunya
3.2.3
Variabel
Pengganggu
1.
Pengetahuan
2.
Sikap
3.
Pendidikan
4.
Suku Bangsa
5.
Nyamuk Aedes aegypti
6.
Pelayanan Kesehatan
7.
Status Ekonomi
8.
Lingkungan
9.
Virus Dengue
10.
Daya Tahan Tubuh
11.
Umur
Pengendalian variabel
pengganggu
Variabel yang disamakan
1.
Pengetahuan
Pengetahuan
masyarakat tentang penyakit chikungunya adalah sama yaitu mereka belum paham
benar tentang bahaya, penyebab, gejala-gejala, cara penularan, cara pencegahan,
dan pengobatan penyakit Chikungunya
2.
Sikap
Sikap masyarakat
tentang penyakit Chikungunya adalah sama, mereka menganggap bahwa penyakit
Demam Berdarah berbahaya karena dapat menyebabkan kematian
3.
Pendidikan
Tingkat
pendidikan penderita penyakit Chikungunya adalah sama, mereka rata-rata masih
SMP ke bawah
4.
Status Ekonomi
Status ekonomi
penderita Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Patebon, Kecamatan Patebon
Kabupaten Kendal adalah sama, yaitu dari kalangan status ekonomi menengah
kebawah
5.
Daya Tahan Tubuh
Daya tahan tubuh
penderita Chikungunya di wilayah kerja Puskesmas Patebon, Kecamatan Patebon
Kabupaten Kendal pada saat itu adalah sama, yaitu dalam keadaan lemah sehingga
mudah terserang virus chikungunya.
6.
Umur
Umur penderita
penyakit Chikungunya rata-rata ≤15 tahun
Variabel
yang dianggap sama
1.
Suku Bangsa
2.
Nyamuk Aedes aegypti
3.
Pelayanan Kesehatan
4.
Lingkungan
5.
Virus chikungunya ( CHIK )
3.3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis
adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian
sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Suharsimi Arikunto, 2002: 64).
3.3.1
Hipotesis Mayor
Ada hubungan antara
perilaku kesehatan dengan kejadian penyakit chikungunya di wilayah kerja
Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal 2014
3.3.2
Hipotesis Minor
1) Ada
hubungan antara kebiasaan membersihkan tempat penampungan air dengan kejadian Chikungunya.
2) Ada
hubungan antara kebiasaan menutup tempat penampungan air dengan kejadian
Chikungunya.
3) Ada
hubungan antara kebiasaan menguras tempat penampungan air dengan kejadian
Chikungunya.
4) Ada
hubungan antara kebiasaan mengubur barang-barang bekas dengan kejadian
Chikungunya
5) Ada
hubungan antara kebiasaan membuang sampah pada tempatnya atau membakarnya
dengan kejadian Chikungunya
6) Ada
hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian Chikungunya
7) Ada
hubungan antara kebiasaan memakai kelambu dengan kejadian Chikungunya
8) Ada
hubungan antara kebiasaan memakai lotion anti nyamuk dengan kejadian
Chikungunya
9) Ada
hubungan antara kebiasaan menabur bubuk Repellent pada tempat penampungan air
dengan kejadian Chikungunya
10) Ada
hubungan antara kebiasaan memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
Chikungunya
3.4
Jenis dan Rancangan Penelitian
Berdasarkan
tujuan, penelitian ini termasuk dalam penelitian explanatory research,
yaitu menganalisa hubungan variabel-variabel penelitian dengan menguji
hipotesis yang dirumuskan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode
survei analitik dengan pendekatan case control adalah suatu penelitian
survei analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan
menggunakan pendekatan retrospektive, dimana kasus dan kontrol
diidentifikasi saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi adanya pada
waktu yang lalu (Soekidjo Notoadmojo, 2002 : 150).
Dalam penelitian ini, yang digunakan
sebagai kelompok kasus adalah semua orang yang menderita chikungunya. Penelitian
dimulai dengan mengidentifikasi kelompok dengan kasus (semua orang yang
menderita chikungunya) dengan kelompok kontrol (semua orang yang tidak
menderita chikungunya), kemudian secara retrospektif diteliti faktor risiko
yang mungkin dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol terkena paparan atau
tidak.
Skema penelitian dengan menggunakan case
control adalah sebagai berikut :
Gambar
3.2 Rancangan Penelitian Case Control
(Sumber
: Sudigdo, 2002: 112)
3.5
Populasi
dan Sampel
3.5.1
Populasi
Populasi
adalah keseluruhan obyek penelitian (Seokidjo Notoatmodjo, 2002 : 79). Populasi
pada penelitian ini dibagi dua yaitu populasi kasus dan populasi kontrol.
3.5.1.1
Populasi Kasus
Populasi
kasus adalah orang penderita Chikungunya pada bulan Januari–Desember yang
terdaftar dalam catatan medik dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal tahun 2012 yaitu sejumlah 109 orang.
3.5.1.2
Populasi Kontrol
Populasi
kontrol adalah orang yang tidak menderita DBD pada bulan Januari–Desember yang
terdaftar dalam catatan medik dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal tahun 2012.
3.5.2
Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Soekidjo, 2002 :79). Sampel pada penelitian ini dibagi dua yaitu sampel kasus
dan sampel kontrol.
3.5.2.1 Sampel
Kasus
Sampel
kasus dalam penelitian ini adalah orang yang menderita chikungunya yang
tercatat dalam catatan medik dan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal tahun 2012.
3.5.2.2 Sampel
Kontrol
Sampel
kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang tidak menderita chikungunya
adalah orang yang berada di sekitar penderita (tetangga) dan bertempat tinggal
di wilayah kerja Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal tahun
2012.
3.5.3
Kriteria
Inklusi dan eksklusi
3.5.3.1 Kriteria
Kasus
3.5.3.1.1 Inklusi
1) Menderita
penyakit chikungunya yang tercatat dalam catatan medik Puskesmas Patebon
Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal
selama periode waktu 1 Januari – 31 Desember 2012.
2) Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas
Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal
pada saat dilakukan penelitian
3) Subjek
berusia ≤ 15 tahun saat dilakukan penelitian
4) Subjek
setuju untuk mengikuti penelitian
3.5.3.1.2 Eksklusi
1) Pindah
tempat saat dilakukan penelitian
2) Subjek
menolak berpartisipasi dalam penelitian
3.5.3.2 Kriteria
Kontrol
3.5.3.2.1 Inklusi
1)
Tidak menderita chikungunya adalah orang
yang berada di sekitar penderita (tetangga)
2)
Bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Patebon Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal pada saat dilakukan penelitian
3.5.3.2.2 Eksklusi
1) Subjek
tidak bersedia untuk mengikuti penelitian
2) Pindah
tempat saat dilakukan penelitian
3.5.4
Besar
Sampel
Besar sampel dihitung dengan tingkat kepercayaan 95%
(Zα = 1,96), kekuatan penelitian 80% (Zβ
= 0,842), serta berdasarkan nilai OR
dan proporsi paparan pada kelompok kontrol (P2) dari penelitian
terdahulu.
Rumus pengambilan sampel :
(Sudigdo dan Sofyan Ismail, 2002 : 87)
Keterangan
:
n1=n2 : Besar sampel untuk kasus dan kontrol
Zα : Tingkat kepercayaan (95% = 1,96)
Zβ : Power penelitian (80% = 0,84)
P1
: Perkiraan proporsi efek pada
kasus
P2
: Proporsi pada kelompok kontrol
Q
: Proporsi kontrol terpapar
OR
: Odds Ratio (penelitian terdahulu Wartubi, 2007 = 3,2)
Dari
penelitian terdahulu diperoleh P2 = 27,8 % dan OR = 3,2
Q2 =
1- P2
=
1- 0,278
=
0,722
OR =
3,2
OR =
3,2 =
3,2 =
0,834 – 0,834P1 = 0,722P1
0,834 =
0,722P1 + 0,834P1
0,834 =
1,556P1
P1 =
P1 =
0,536
Q1 = 1 - P1
= 1 – 0,536
= 0,464
P1 – P2 = 0,536
– 0,278
= 0,258
P =
=
= 0.814
Q =
1- P
= 1 – 0,814
= 0,816
Perhitungan
sampel :
=
=
=
=
=
= 40,8
= 41
Jadi sampel minimal
kasus = 41 responden dan sampel minimal kontrol = 41 responden.
Dari hasil teknik
pengambilan sampel diperoleh jumlah sampel minimal yaitu 41 responden, dan
diambil sampel 45 responden. Dengan menggunakan rumus di atas dan menggunakan
OR penelitian terdahulu, maka besar sampel minimal yang diperoleh adalah 45
orang. Dimana jumlah sampel kasus dan kontrol (n1=n2) dan berarti masing masing
kelompok memiliki jumlah sampel yang sama yaitu kelompok kasus memiliki sampel
sebesar 45 orang, dan kelompok kontrol memiliki sampel sebesar 45 orang.
sehingga secara keseluruhan jumlah sampel sebesar 90 orang.
DAFTAR PUSTAKA
Anies,
2006, Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Anies,
2005, Mewaspadai Penyakit Lingkungan, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Balitbangkes
Depkes RI, 2005, Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia
Tahun 2001-2003, Cermin Dunia Kedokteran, Volume, No 148, hlm 37-39.
Dinas
Kesehatan Kabupaten Kendal. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2006.
Semarang: Dinkes Jateng.
Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2006.
Semarang: Dinkes Jateng.
________________________________.
2006. Prosedur Tetap Penanggulangan
KLB dan Bencana
Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinkes Jateng.
Fatmi Yumantini Oktisari, 2006, Faktor Sosiodemografi dan
Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya di Kelurahan
Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Makara Kesehatan, Volume 12, No 1, Juni
2008, hlm 20-26.
Judarwanto W, 2009, Penatalaksanaan Demam Chikungunya, http://www.mailarchive. com, diakses
14 Agustus 2010.
Mukono.
2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Soegeng
Soegijanto. 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa & Penatalaksanaan.
Jakarta:
Salemba Medika.
Soekidjo
Notoatmodjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
__________________.
2003. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka
Cipta.
__________________.
1997. Pendidikan dan Kesehatan Perilaku. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Sudigdo
Sastroasmoro. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Sudigdo
Sastroasmoro & Sofyan Ismail. 2002. Ilmu Kesehatan Masyarakat:
Prinsip-Prinsip
Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suharto,
2003, Chikungunya Pada Orang Dewasa, Surabaya : Airlangga
University
Press.
Umar
Fahmi, 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta : PT Kompas
Media Nusantara.
Wartubi,
2007, Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Cikungunya di
Puskesmas Jatibarang Kabupaten Indramayu, Skripsi : Universitas
Diponegoro.
Widoyono,
2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya,
Jakarta : Erlangga.
Widya
Hary C dan Dina Nur A, 2008, Buku Ajar Biostatistika Inferensial,
Jurusan
Ilmu Kesehatan
Masyarakat FIK : UNNES.
World
Health Organization, 2004, Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam
Berdarah, Terjemahan oleh Palupi Widyastuti, Jakarta : EGC.
2 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
Promo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
Posting Komentar